Petani kopi tanah air sedang menjerit lantaran kopi impor menggerus harga penjualan kopi. Turunnya pun tidak tanggung-tanggung. Terkerek turun sampai tujuh ribu rupiah.Â
Seperti yang saya baca di republika online (19/08/2019). Harga biji kopi kering di Bengkulu sudah menyentuh 15 ribu rupiah dari sebelumnya 22 ribu rupiah per kilogram. Sedangkan di Lampung mencapai 18 ribu rupiah yang sebelumnya seharga 25 ribu rupiah per kilogramnya.
Penurunan harga kopi ini memang terjadi secara global. Akibat kecemasan terhadap perang dagang Amerika Serikat dan China. Gempuran kopi impor murah menambah apes petani kopi lokal.
Adakah cara yang bisa diramu untuk mengubah jeritan petani kopi menjadi dendang riang? Agar jangan sampai petani kopi kita ikut-ikutan berhenti menanam kopi dan beralih ke komoditas lain seperti yang terjadi di Vietnam.Â
Saya rasa pembaca lebih banyak memiliki ide-ide kreatif yang bisa dijadikan solusi. Di sini saya menuliskan sebagian kecil yang bisa jadi sama-sama terlintas di benak dan pikiran kita sejak lama.
Petani perlu melirik koperasi seperti yang disarankan oleh Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Victoria Simanungkalit. Skala ekonomi dengan berkumpul dan memanfaatkan koperasi akan jauh lebih besar dan mempunyai daya tawar yang lebih kuat.
Ada hal penting yang lebih dari sekedar berkelompok dan memanfaatkan koperasi, yakni membina petani untuk mendifersifikasi kegiatan usaha mereka.
Proses penanaman, perawatan tanaman, pemanenan sampai produksi biji kopi bahkan pengolahan menjadi bubuk kopi bisa dijadikan alternatif wisata ekologis dan edukatif.
Sudah saatnya petani menambah sumber penghasilan tidak melulu melalui penjualan biji kopi. Apalagi saat ini produktivitas biji kopi di tanah air baru mencapai 0,6 sampai 0,7 ton per hektarnya. Wisata serba kopi bisa memberikan penghasilan tambahan, hanya saja petani butuh kerja ekstra melayani wisatawan dengan ramah dan terbuka.