Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Memahami Omnibus Law sebagai Suatu Konsep dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

2 April 2020   08:18 Diperbarui: 2 April 2020   16:22 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Omnibus Law pada dasarnya tidak lain merupakan suatu konsep atau format yang banyak digunakan oleh negara Anglo Saxon atau Common Law seperti Amerika,Inggris dan Australia dalam menyusun suatu peraturan perundang-undangan. Namun seiring berkembangnya zaman, banyak negara Civil Law juga turut serta menganut konsep ini, sebut saja Vietnam dan Fillipina. Adapun Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali menerapkan konsep Omnibus Law, hal ini dapat dilihat dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan  jo UU Nomor 9 Tahun 2017. Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian Omnibus Law pernah ditetapkan pada level TAP MPR RI, yaitu Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan MPRS Dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 (Agnes Fitryantica “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Indonesia melalui Konsep Omnibus Law”. Jurnal Gema Keadilan (ISSN: 0852-011)  Volume 6, Edisi III, 2019).

Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus : relating to or dealing with numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes, dimana artinya berkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Bila digandeng dengan kata Law yang maka dapat didefinisikan sebagai hukum untuk semua (Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat & Pembangunan, 1981:29). Sementara menurut Fachri Bachmaid pakar hukum tata negara, menyatakan bahwa Omnibus Law merupakan suatu konsep pembentukan produk hukum yang kemudian mengakomodir berbagai tema, materi, subek dan peraturan perundang-undangan pada tiap sektor yang kemudian menjadi satu produk hukum payung (Umbrella Act) yang besar dan holistic (Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, 1997:144).

Di Indonesia isu Omnibus Law mencuat setelah Presiden Joko Widodo dalam pidato pelantikannya menyampaikan gagasan merampingkan regulasi dengan membentuk dua undang-undang (UU), yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pembentukan kedua UU ini sekaligus akan memangkas puluhan regulasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan pemberdayaan UMKM.

Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, tentunya membutuhkan suatu landasan yang menjadi pedoman dalam praktek pemebntukannya. Peraturan perundang-undangan yang baik yaitu suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki dasar atau landasan yang disebut dengan Grundnorm. Grundnorm merupakan pondasi bagi terbentuknya hukum yang memiliki keadilan, kepastian dan kebermanfaatan tentu saja. Dalam Demokrasi Pancasila, Pancasila merupakan Grundnorm bagi bangsa Indonesia. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, jika pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak sesuai dengan Pancasila, maka peraturan perundang-undangan belum memiliki dasar yang kuat untuk diundangkan, dan dengan demikian, peraturan perundang-undangan tersebut belum memenuhi konsep dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada.

Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan rencana atau plan dalam membentuk hukum. Hukum pada hakekatnya adalah produk penilaian akal-budi yang berakar dalam hati nurani manusia tentang keadilan berkenaan dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia. Keadilan merupakan nilai abstrak yang perlu perwujudan dalam bentuk norma hukum sebagai sarana untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Perwujudan nilai-nilai norma hukum dalam masyarakat terbentuk melalui aturan perundang-undangan. Aturan perundang-undangan yang dibentuk harus memenuhi rasa keadilan. Adapun menurut Sajipto Rahardjo, dalam proses pembuatan rancangan undang-undang harus lah memperhatikan peran dari asas hukum, tujuannya adalah agar praktik tidak jauh menyimpang dari apa yang di cita-citakan.

Sistem hukum termasuk peraturan perundang-undangan yang dibangun tanpa asas hukum hanya akan berupa tumpukan undang-undang. Asas hukum memberikan arah yang dibutuhkan. Di waktu-waktu yang akan datang masalah dan bidang yang diatur pasti semakin bertambah. Maka pada waktu hukum atau undang-undang dikembangkan, asas hukum memberikan tuntunan dengan cara bagaimana dan ke arah mana sistem tersebut akan dikembangkan (Sajipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia,  Jakarta, 2006:140).

Dalam kenyataan empiris telah terbukti bahwa suatu undang-undang, bahkan kodifikasi tidak akan pernah lengkap dalam mengatur segala persoalan yang terjadi maupun yang akan terjadi di tengah-tengah dinamika perkembangan masyarakat (Basuki Rekso Wibowo, “Peranan Hakim dalam Pembangunan Hukum”, 1997:62). Hukum yang ideal adalah hukum yang terus bergerak mengikuti perkembangan dan kebutuhan dari masyarakat itu sendiri (living constitution). Namun sekali lagi dalam kenyataannya, norma hukum yang termuat di dalam undang-undang sering kali kalah dengan perkembangan di dalam suatu masyarakat. Berbagai peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, terdapat kekaburan norma, maupun kekosongan norma, haruslah mampu diatasi, yakni dengan bagaimana memperbaiki dan mencari konsep yang tepat untuk diterapkan dan sesuai dengan socio cultural Indonesia sebagai negara Pancasila.

Jika kita menilik Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan didalamnya terdapat asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas-asas tersebut antara lain adalah asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ/Lembaga dan materi muatan yang tepat, asas dapatnya dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. A Hamid S Attamimi cenderung membagi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam asas formal dengan perincian asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ/Lembaga yang tepat, asas materi muatan yang tepat, asas dapatnya dilaksanakan, dan asas dapatnya dikenali, dan asas material dengan perincian asas sesuai dengan cita hukum Indonesia, asas sesuai dengan Hukum Dasar negara, asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar atas hukum, dan asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi (Firman Freaddy Busroh, “Konseptualitas Omnibus Law dalam Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan”, 2017)

Kemudian menurut Dr. Hayyan Ul Haq SH.,LL.M seorang pengajar filsafat hukum di Universitas Mataram mengatakan bahwa di dalam teori hukum, hukum yang benar, hukum yang dijadikan objek kajian adalah hukum yang memiliki efektifitas keberlakuan. Efektifitas keberlakuan ditandai dengan adanya satu karakteristik tunggal, yakni self explanatory. Self explanatory adalah kemampuan dari suatu norma untuk menjelaskan kepada publik bahwa dia benar dalam dirinya sendiri. Kemudian self explanatory ditandai dengan adanya kekoherensian yakni instrument atau metode yang digunakan untuk mengukur kebenaran dari sebuah entity atau norma, yang mencakup tiga elemen yaitu konsistensi, comprehensivnes, dan adanya keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lain. Jika komponen yang satu dengan yang lain berinteraksi secara koheren maka dia bisa melahirkan gagasan yang bersifat konstruktif. Maka di dalam membangun konsep Omnibus Law tersebut penting untuk mengkonstruksikan ketiga elemen tersebut untuk mencapai koherensi didalam suatu peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan norma yang satu dengan yang lainnya serta tetap mengacu kepada Pancasila dan Konstitusi.

Maka sebagai suatu konsep atau format di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak ada yang salah dengan omnibus law, selama konsep tersebut tetap mengacu kepada Pancasila dan Konstitusi serta asas-asas didalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia akan menjadi masalah apabila muatan materi (substansi) yang diatur dalam UU Omnibus tersebut bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Oleh karena itu dalam prosesnya tentu konsep Omnibus Law ini harus tetap mengacu kepada syarat dalam pembentukan suatu Peraturan Perundang-undangan. Adanya asas transparansi, dikomunikasikan dengan pihak-pihak yang akan terkena dampaknya baik secara langsung maupun tidak langsung, serta adanya moral etik di dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu sendiri.

Sehingga sejalan dengan itu, seperti yang diungkapkan Padmo Wahjono Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bahwa keberadaan hukum seiring perkembangan zaman ia tidak lagi dipandang sebagai alat ketertiban semata-mata, namun diharapkan pula sebagai alat untuk merealisasikan ide tentang tatanan kehidupan yang kita cita-citakan, yang akan membentuk masyarakat adil dan makmur, dan hukum dibentuk demi kesejahteraan sosial. Undang-undang tidak lain merupakan perumusan dari norma hukum itu sendiri, maka dalam merumuskan suatu konsep pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka konsep Omnibus Law seyogiyanya harus mampu mengkonstruksikan nilai substantive yang membawa Indonesia kepada cita negara yakni negara kesejahteraan (walfare state).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun