Bicara soal kurban, saya tidak bisa bicara banyak, karena saya tidak beragama Islam. Saya beragama Kristen Protestan. Tentu saja, kalau dari segi dalil-dalil agama Islam, saya tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang itu.Â
Saya salut dengan teman-teman, kenalan, dan handai tolan yang beragama Islam, khususnya yang menyangkut tentang kurban. Meskipun saya dan saudara-saudara saya beragama Kristen dan Katolik, mereka tetap memberikan daging kurban kepada kami. Mereka tidak melihat agama yang kami anut. Kami mendapat bagian daging kurban juga.
Inilah keindahan berbagi yang saya rasakan dari sesama yang beragama Islam.Â
Sayangnya memang saya tidak terlibat langsung dalam pemotongan hewan kurban dan pembagian daging ke warga-warga di lingkungan RT saya. Saya tidak tahu persis bagaimana prosedurnya.
Meskipun begitu, saya pernah terlibat langsung dalam kegiatan pemotongan hewan kurban ketika saya masih mengajar di salah satu SD Negeri di Samarinda (biarlah nama SD tetap anonim). Hanya sekali. Saya lupa tahun berapa. Waktu itu ibu kepala sekolah, sebut saja Rina, meminta saya untuk datang keesokan hari guna membantu pemotongan hewan kurban, yaitu sapi.
"Pagi jam delapan ya, Pak Anton," kata Rina sewaktu saya menanyakan jam berapa harus ada di sekolah.
Saya menyanggupi. Selain memang tidak ada jam mengajar, saya juga penasaran dengan prosedur pemotongan hewan kurban. Dengan melibatkan saya dalam kegiatan kurban, saya jadi mengetahui urutan proses pemotongan hewan kurban.
Tiba harinya
Dan harinya pun tiba. Saya datang agak terlambat, karena mengingat tidak ada pelajaran pada hari tersebut. Libur. Biasanya saya tidur agak terlambat atau larut, karena menonton YouTube atau membaca buku. Tak heran, saya kebablasan tidur. Terlambat sepuluh sampai 15 menit. Saya buru-buru mandi dan berpakaian. Setelah itu, saya segera memacu sepeda motor ke sekolah.
Ternyata, sapi sudah terikat dan tergeletak di lapangan sekolah. Masih berusaha meronta, karena sapi masih bernyawa.
"Ayo, Pak Anton. Bantu pegangin sapinya," kata Rina, yang terlihat memegang tali yang mengikat kaki sapi.
"Ya, Bu. Sebentar," jawab saya yang bersegera ke kantor guru untuk menaruh tas kecil saya dan bergegas ke lokasi dimana sapi harus kami tahan pergerakannya supaya tidak berontak.Â