Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lihat Mata, Harga Naik Seketika

15 Mei 2025   14:56 Diperbarui: 15 Mei 2025   16:27 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mata | Canva.com via Kompas.com

Suku, agama, ras, dan antar golongan. Topik yang sangat sensitif di negeri +62. Tapi memang hal ini selalu digoreng setiap saat, baik itu di percakapan secara lisan, maupun di dunia maya lewat media sosial. Secara kasat mata atau terselubung, perihal SARA mengemuka, mulai dari suku yang dibilang malas sampai rajin, dan lain sebagainya.

Muak? Tentu saja. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan, yaitu keturunan Tionghoa, saya sudah "kenyang" mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, mulai dari ucapan secara verbal sampai tindakan pihak lain yang "membedakan" karena kesukuan saya, kulit putih dan mata sipit yang saya punyai. 

Kalau seandainya bisa memilih, saya pasti meminta kepada Tuhan untuk menjadi pribumi, seperti menjadi seseorang dari suku Jawa, Banjar, Dayak, Bugis, Batak, Madura, atau yang lainnya. Tapi mau bagaimana lagi. Tuhan menentukan saya sebagai WNI keturunan Tionghoa. Perubahan istilah dari Cina ke Tionghoa, menurut saya, cuma sebatas istilah berganti, tapi paradigma yang tertanam di benak kebanyakan WNI non Tionghoa belum sepenuhnya berubah.

Ada berbagai pengalaman tidak menyenangkan yang saya dapatkan, baik itu sejak masih bersekolah dulu sampai saat ini. Ada beberapa yang masih saya ingat sampai sekarang dan sangat menjengkelkan.

Ketika saya masih berstatus murid SMA kelas satu, ayah dan ibu ingin mengajak kami sekeluarga untuk makan di luar rumah demi merayakan Imlek. Setelah seharian bersekolah (saya) dan bekerja (orang tua dan kakak), kami keluar di malam hari. Salah satu restoran sudah menjadi tujuan kami untuk makan malam bersama, merayakan Imlek. Sayangnya rencana itu buyar seketika karena ada oknum-oknum yang merusak rencana tersebut.

Minta angpau saat kami keluar. Preman-preman tersebut (saya lupa berapa jumlahnya) meminta angpau dengan kasar dan intimidatif. Ayah memberikan uang (entah berapa. Saya lupa nominalnya). Rupanya, preman-preman tersebut tidak puas dengan uang yang mereka dapat. Salah satu preman merusak satu kaca spion mobil kami. Buyarlah rencana kami malam itu. 

Melapor pada Ketua RT. Itulah yang ayah lakukan. Hasilnya? Preman-preman tersebut cuma minta maaf biasa dan memberikan uang pengganti kaca spion yang sudah dipecahkan. 

Apakah dengan begitu masalah selesai? Menurut saya, itu belum selesai. Penyelesaian hanya dengan meminta maaf, tapi tidak memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan, hanya redup sesaat dan sang pelaku bisa melakukan hal yang sama ke orang yang lain. 

Lagipula, penyelesaian dengan hanya meminta maaf (kalau benar tulus dan menyesal) dan mengganti kerugian secara materiel tidak serta merta mengobati trauma yang sudah terjadi.

Di lain kesempatan, ketika saya berkuliah di Samarinda, saya mendapatkan diskriminasi saat mengurus administrasi kependudukan, karena saya berniat pindah alamat. Otomatis, mengurus KTP dan Kartu Keluarga adalah hal yang merepotkan bagi kebanyakan warga, apalagi WNI keturunan seperti saya. 

Saya dipersilahkan masuk ke ruang tersendiri saat mengurus surat keterangan pembuatan KTP di kelurahan (biarlah nama kelurahan tetap anonim) dan sang pegawai bilang terserah waktu saya menanyakan tentang biaya pembuatan surat keterangan pembuatan KTP dan Kartu Keluarga sebagai rujukan ke kecamatan terkait. Padahal, di papan di belakang pegawai tersebut, tertulis kalau tidak ada biaya untuk pembuatan surat keterangan tersebut alias gratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun