"Saudara-saudaraku yang perempuan selalu mengecap kami, saudara-saudara yang laki-laki, sebagai pribadi-pribadi yang sinis, tidak ada inisiatif, terlalu baik kepada orang lain tetapi tidak kepada anggota keluarga, dan seabrek perilaku negatif lainnya.
"Percakapan terakhir dengan Nina semakin meneguhkan kalau paradigma mereka tentang stigma saudara laki-laki tidak pernah berubah. Para saudara perempuan seakan tidak mempunyai empati kepada saudara-saudara yang laki-laki...."
Keluh kesah Hadi (bukan nama sebenarnya) tentang saudara-saudara perempuannya, Nina (nama samaran) dan tiga saudara perempuannya yang lain sebenarnya bukan hal baru.Â
Ada banyak kasus perseteruan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan di dalam dunia ini. Baik di dalam lingkungan pergaulan maupun melalui dunia maya, kasus cekcok antar saudara beda jenis kelamin bisa kita dapatkan.
Saya juga berada dalam keluarga yang bisa dikatakan "dominan" perempuan daripada laki-laki. Dan saya merasakan apa yang dirasakan Hadi. I feel you, Hadi.
Kenapa tidak ada yang mau mengerti?
Saya tidak ingin mengajari Anda atau seakan lebih pintar dalam melihat kondisi permasalahan ini. Saya melihat dari pengamatan di dalam keluarga saya sendiri, keluarga Hadi, dan beberapa kenalan yang juga mengalami hal yang sama, baik itu perseteruan antara saudara laki-laki dan perempuan atau perselisihan antar saudara lainnya, misalnya antara saudara laki-laki yang satu dengan saudara laki-laki yang lain; atau antara saudara perempuan yang satu dengan saudara perempuan yang lain.
Menurut saya, ada 3 (tiga) alasan kenapa tidak ada saudara yang mau mengerti.Â
1. Merasa diri benar sendiri
Menurut saya, merasa diri benar sendiri adalah penyakit yang paling menyakitkan dalam diri seorang insan, namun sayangnya, kebanyakan tidak menyadari kalau diri mengidap penyakit ini.
Apa pun yang saudara ucapkan dan lakukan, tidak ada yang benar. Semua salah dan hanya dirinya yang benar.
Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang selalu berbuat benar sepanjang hidupnya. Selalu ada dua sisi "benar" dan "salah" dalam perkataan dan tindakan.
Sayangnya, tidak semua menyadari paradigma tersebut.