Saya memutuskan untuk rehat sejenak di warung fried chicken langganan sembari makan siang. Tengah hari yang panas membakar. Mencari tempat yang adem adalah pilihan yang terbaik.
"Biasa, bos?" tanya David (nama samaran), sang juragan David Fried Chicken (bukan jenama yang sebenarnya) yang juga merangkap sebagai waiter, menanyakan pesanan saya.
"Iya, bosku," jawab saya singkat.
Saya langsung duduk di satu-satunya kursi yang belum ditempati yang bagi saya cuma satu-satunya. Saya tidak punya pilihan lain. Meja dengan empat kursi. Di satu kursi, terisi oleh Jack (bukan nama sebenarnya), sang kontraktor (dalam pengertian yang sebenarnya) dan kursi di sebelahnya kosong. Sedangkan di seberang menyilang ada Robert (nama samaran), anak buah Jack di proyek.
Meja tunggal di pojokan sudah ada seseorang yang sedang makan siang di situ.
Dengan terpaksa, saya duduk di hadapan Jack. Lebih baik di hadapan daripada di sebelah. Pastinya, selama beberapa menit ke depan, dengan tidak punya pilihan lain, saya akan terpapar oleh asap rokok Jack.
Saya hanya bisa ngedumel dalam hati. Tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima saja apa yang ada.
Tak lama, pesanan tiba di hadapan saya. Dada ayam, nasi putih seukuran mangkuk kecil, dan beberapa iris timun (lebih tepatnya tiga iris) plus sedikit sambal.
"Gimana kabar, Pak Anton?" tanya Jack saat saya baru saja mau memasukkan suapan nasi yang pertama ke mulut saya.
"Puji Tuhan, kabar baik. Gimana kabarnya, bos?" tanya saya balik.
"Alhamdulillah, baik aja," jawab Jack ringkas.