Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Merasa Putus Asa? 3 Sosok Sederhana Ini Seharusnya Membuatmu Malu

26 Juli 2019   05:11 Diperbarui: 26 Juli 2019   06:21 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Tarno | Dokumentasi Pribadi

Bagaimana kondisi Anda hari ini? 

Kalau seandainya ada lontaran pertanyaan seperti ini, apa jawaban Anda? 

Pasti bervariasi. 

Ada yang mengatakan baik-baik saja. Ada juga yang mengatakan buruk sekali. 

Bagai 2 sisi mata uang. 

Seandainya Anda mengucapkan baik-baik saja, saya acungi jempol buat Anda. Terlepas Anda jujur atau tidak, Anda sudah memandang hidup ini dengan optimis.

Namun bagaimana dengan Anda yang menjawab buruk? 

Saya tidak ingin menghakimi Anda, karena saya juga tidak lebih baik dari Anda. 

Terkadang ada hari dimana terlihat luar biasa, namun terkadang ada hari dimana hanya kesialan yang ada. 

Namun waktu saya bertemu dengan 3 sosok ini, saya menjadi malu. Saya yakin, Anda juga pasti akan malu setelah membaca kisah 3 sosok ini. Karena dibanding 3 orang ini, saya yakin kondisi Anda yang membaca tulisan ini pasti lebih baik dibanding mereka. 

Siapakah 3 sosok ini? 

1. Tarno (nama samaran), montir bengkel sepeda motor

Saya mengenal beliau sekitar 12 tahun yang lalu. Saya membawa sepeda motor ke bengkel beliau karena ban belakang bocor. 

Untungnya, sepeda motor berada di rumah waktu itu, di hari Minggu, jadi saya bisa menuntun motor saya dengan santai, karena tidak ada kegiatan mengajar di hari Minggu.

Dulu, saya selama tinggal di area Jalan A (bukan nama jalan sebenarnya), saya belum pernah ke bengkel tersebut. Ada dua bengkel. Sebenarnya bengkel pertama lebih dekat dengan rumah saya, namun bengkel pertama tersebut lebih sering tutup daripada buka. Apalagi di hari Minggu. Bagaimana saya tahu? Karena saya selalu lewat bengkel pertama kalau mau pergi ke sekolah untuk mengajar dan juga sewaktu pulang, pasti lewat bengkel pertama.

Berbeda dengan bengkel pertama, bengkel kedua selalu buka. Mungkin ada satu atau dua kali tutup, tapi lebih sering buka.

Seperti saya duga, bengkel pertama tutup, maka saya beralih ke bengkel kedua yang agak jauh, mendekati gerbang keluar jalan.

"Kenapa, Pak?" tanya sang montir di bengkel kedua.

"Bocor, Pak. Ban belakang," jawab saya, sambil menunjuk ke ban belakang motor saya.

Sang montir pun dengan cekatan menangani ban belakang sepeda motor saya.

Sambil menunggu, pandangan mata saya berkeliling ke seputaran bengkel. Mata saya langsung terhenti, waktu melihat sebuah gitar terletak di sudut etalase. Gitar akustik.

"Ini gitar bapak?" tanya saya.

"Iya, Pak," jawab sang montir, sambil tersenyum.

"Wah, berarti hebat juga bapak main gitar kalau begitu," saya melihat gitar itu. Ingin memegang, tapi ragu. Takut dibilang lancang.

"Ah, biasa aja, Pak. Cuma bisa genjreng-genjreng gak jelas."

"Boleh saya coba mainkan gitarnya, Pak?"

"Oh, silakan, Pak. Bapak bisa main gitar juga rupanya."

"Ah, cuma bisa sedikit-sedikit aja, Pak," Saya merendah.

Dari situlah awal mula perkenalan saya dengan sang montir yang bernama Pak Tarno ini. Mulai dari sekadar berkunjung di malam hari untuk menjajal gitar, sambil mengobrol tentang musik.

Sampai sekarang pun, saya tetap menjalin hubungan pertemanan, meskipun saya sudah pindah ke rumah kontrakan yang lain. Saya cukup terkejut melihat kondisi Pak Tarno sekarang yang ibaratnya "menumpang" di tanah kosong milik orang lain, dan menggelar bengkelnya di situ.

"Yah, rumah yang saya tempati dulu bukan rumah saya, Pak. Si pemilik mengijinkan saya menempati tanpa harus membayar sewa. Tapi karena dia ada masalah keuangan, terpaksa dia ambil kembali rumah itu. Mau dia jual, katanya," ujar Pak Tarno. 

Tidak ada kegetiran di wajahnya. Meskipun sekarang dia harus mengontrak rumah, dan harus bolak-balik membawa perkakas, peralatan servis sepeda motor dari rumah ke lokasi bengkel; dan dari lokasi bengkel ke rumah, menggunakan mobil pick up-nya.

"Selama masih kuat bekerja, saya tidak takut akan suramnya masa depan. Tuhan pasti memberikan rezeki bagi umat manusia yang beriman kepada-Nya dan bekerja keras," kata Pak Tarno, waktu saya bertanya tentang kondisi sulitnya saat ini.

Saya jadi merasa malu. Dia cuma lulusan STM (Sekolah Tehnik Menengah, setingkat SMK sekarang), namun pola pikirnya lebih dewasa, lebih positif dibanding kebanyakan sarjana, yang gengsi dapat kerjaan jadi sales. Saya juga malu, karena saya waktu itu berada dalam posisi runyam karena status pekerjaan. Namun, mengetahui fakta optimisme Pak Tarno, saya pun tersadar.

"Saya harus bangkit kembali," Itu tekad saya kalau mengingat pengalaman ini.

2. Basuki, Penjual Gorengan

Orang kedua yang menginspirasi saya adalah seorang laki-laki yang mungkin sekitar 50 tahun usianya. Basuki (bukan nama sebenarnya) menjalankan bisnis jual gorengan (pisang goreng, singkong goreng, ote-ote, dan ampal jagung) dari satu pasar malam ke pasar malam lainnya.

Pertemuan tak sengaja sebenarnya.

Saya suka jogging di suatu area yang bisa dibilang taman kota. Terkadang saya jogging di jalan, namun lebih banyak di area taman kota ini. Dan biasanya, setiap Sabtu sore, mulai pukul 5 sampai malam, yaitu malam minggu, pasar malam ada di situ.

Mulai dari penjual baju bayi, sampai penjual sayur ada di sana.

Salah satu yang termasuk laris adalah penjual gorengan.

Tak heran kalau laris. Selain rasa yang oke, bumbu kacangnya pun yahud.

Harga? Lima ribu dapat tiga gorengan. Terbilang murah, terjangkau. Apalagi size, ukuran dari gorengan yang besar. Satu gorengan sudah cukup membuat kenyang. Meskipun begitu, tetap buat saya ketagihan untuk melahap gorengan berikut ^_^.

"Sudah lama jual gorengan, Pak?" tanya saya, sambil menyantap ampal jagung.

"Yah, lumayan, Pak. Sudah 10 tahun."

"Wah, itu sih bukan lumayan lagi. Udah lama banget," saya mengambil pisang goreng sekarang. Hot and fresh from the pan ^_^.

"Anaknya berapa, Pak?" tanya saya lagi.

"Tiga."

"Kok gak ada yang bantu bapak dan ibu jualan?" 

"Mereka sudah punya pekerjaan sendiri."

"Oh, kerja apa, Pak?"

"Yang pertama, bidan. Di puskesmas di Sangatta."

"Yang bidan ini sudah menikah?"

"Sudah. Anaknya satu. Cowok."

"Anak saya yang kedua," Pak Basuki melanjutkan, "Laki-laki. Kerja jadi pegawai honorer di Tenggarong. Anak ketiga, perempuan, guru di pesantren."

"Wah, gak ada yang neruskan bisnis bapak ini dong nantinya," saya menyayangkan.

"Bisnis apa, pak. Cuma jual gorengan. Saya dan istri malah bangga anak-anak berhasil semua. Kami ini lulusan sekolah rendah. Saya cuma lulusan SMP. Istri saya malah gak lulus SD, hanya sampai kelas empat. Berhenti karena gak ada biaya sekolah. Biar aja kami yang bodoh, tapi jangan sampai anak-anak jadi seperti kami."

Ini saat kedua saya malu kembali.

Meskipun tidak berpendidikan tinggi, Pak Basuki dan istri bekerja keras. Demi pendidikan anak-anak mereka.

3. Sudirman, Penjual Pentol sejak 1993

Sembari mengganti gear dan rantai sepeda motor saya di bengkel Pak Tarno di awal Juli tahun ini, seorang penjual pentol datang ke bengkel sambil menuntun sepeda motor.

"Ganti ban dalam, Pak."

Sosok bapak dengan usia sekitar 50-an ini terlihat sederhana. Dua boks di sisi kiri dan kanan di jok belakang layaknya penjual pentol di keseharian.

Ini cuma ilustrasi. Bukan Pak Sudirman ^_^ | Sumber Gambar: www.viva.co.id
Ini cuma ilustrasi. Bukan Pak Sudirman ^_^ | Sumber Gambar: www.viva.co.id
"Sudah berapa lama jualan pentol, Pak?" tanya saya penasaran.

"Sudah lama, Pak. Sejak 1993."

"Wah, awet banget. Untungnya besar kalau begitu ya, Pak, dari jualan pentol?"

"Yah, lumayan, Pak. Bisa beli rumah, sama motor, dan juga bisa nyekolahin anak dan kirim uang ke kampung."

"Ini bapak jualannya keliling atau mangkal di satu tempat?"

"Dulu keliling. Sejak 10 tahun lalu, saya mangkal dari tengah hari sampai sore di Universitas Z," kata Pak Sudirman (nama samaran).

Belajar 3 Nilai Moral dari 3 Sosok Sederhana

Dari 3 sosok sederhana ini, saya menarik kesimpulan, 3 nilai moral yang saya peroleh.

1. Temukan apa yang bisa dikerjakan dan halal

Kerjakan apa yang bisa dikerjakan. Bisa jual pentol, ya jual pentol. Suka baikin sepeda motor, buka bengkel sepeda motor, meskipun kecil-kecilan. Bisa buat gorengan, jual gorengan.

Yang penting halal.

Jangan malu. Jangan gengsi. Punya gelar sarjana, tapi Anda kelaparan, terlunta-lunta, dan menganggur sekian lama. Itu, dari jualan pentol bisa beli motor dan rumah. Dari jual gorengan, bisa nyekolahkan tiga anak jadi sarjana. Lha, gelar sarjana, tapi gak ada pekerjaan. Boro-boro bisa beli motor. Untuk kehidupan sehari-hari saja tak cukup!

2. Sertai dengan doa

Mereka sepakat bahwa doa mengubah mereka, doa memberi keyakinan bagi mereka bahwa hidup sekeras apa pun bisa mereka lalui karena Tuhan bersama dengan mereka.

3. Kerja keras yang konsisten

3 Sosok ini membuktikan hal itu. Kerja keras yang konsisten akan membuahkan hasil. Tidak ada hasil yang mengkhianati kerja keras. Selama dibarengi kerja keras berkelanjutan, maka akan ada hasil yang memuaskan.

Jadi, seandainya ada di antara Anda yang mengatakan bahwa hidup ini terasa hampa karena tidak punya pekerjaan, saya rasa Anda harus mengkaji ulang pola pikir itu. Apalagi kalau mempunyai hape di tangan, karena sembari mencari pekerjaan, Anda pun bisa berbisnis online seperti saya. 

Saya berbisnis online dengan menjual produk fisik seperti custom case dan produk digital. Daripada kepo-in medsos artis dan mantan (eeh ^_^), kan lebih baik gunakan hape untuk mencari uang dan memantaskan diri di hadapan calon pasangan dan calon mertua.


Untuk mendukung aktivitas berbisnis online, saya bersama dengan Smartfren, Teman Cerdas yang selalu setia menemani. Dengan kecepatan wow yang sudah 4G LTE, omzet pun melesat dan profit pun jadi maknyus.

Jadi, kalau ada di antara Anda yang masih manyun dengan ketiadaan pekerjaan, berkacalah. Lihat ke sekeliling. Orang-orang seperti Pak Tarno, Pak Basuki, dan Pak Sudirman akan "menampar" Anda. Mereka sekolah tak tinggi, namun berdaya untuk negeri. Masa Anda yang sekolah tinggi tidak berdaya ^_^.

Mudah-mudahan tulisan saya ini bermanfaat bagi Anda semua.

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun