Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

21 Tahun Perenungan, Mengabdi sebagai Guru di Tengah Keterbatasan

22 Mei 2019   15:16 Diperbarui: 22 Mei 2019   15:34 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kalau mengenang apa yang sudah berlalu, terkadang saya merenung dalam hati.

Sudah 21 tahun. Bukan waktu yang singkat. Banyak suka dan duka. Meskipun saya sudah tidak menjadi guru di sekolah lagi dan beralih profesi, namun pengalaman-pengalaman tersebut tetap ada di hati, apalagi kalau menyangkut kemanusiaan.

Kenapa saya menyebutkan kemanusiaan di sini?

Karena terkadang, posisi sebagai guru honorer menyebabkan saya terbatas ruang geraknya. Karena honor minim, terpaksa kerja serabutan, di sekolah dan les di bimbel, dan les privat; juga kuliah waktu itu, menyebabkan fokus terpecah.

Ditambah lagi, mata pelajaran bahasa Inggris hanya diajarkan seminggu sekali.

Misalnya kelas 6A, jadwal di hari Senin, maka saya akan bertemu mereka kembali di hari Senin depan. Seminggu kemudian.

Belum lagi peserta didik, terutama yang malas atau ada masalah keluarga,sehingga tidak termotivasi untuk belajar, meskipun segala daya upaya sudah saya kerahkan untuk membuat pembelajaran menarik dan menyenangkan.

Saya sebenarnya tidak terlalu peduli dengan anak-anak yang memang malas atau "bermasalah", karena saya sudah punya banyak masalah.

Membayar SPP, membenahi tugas kuliah di kos, membayar uang kos, mengajar les di bimbel dan les privat, mempersiapkan materi untuk mengajar, semua sudah menyita waktu saya.

Itu semua sudah menguras tenaga saya.

Namun, karena prinsip "Kerja adalah Ibadah", saya tak bisa membiarkan peserta didik yang malas atau sering tidak masuk waktu pelajaran saya.

Saya mengambil langkah, karena berulang kali saya mengatakan pada guru kelas dimana siswa-siswi yang "bermasalah" tersebut "bermukim", namun kebanyakan guru kelas tidak terlalu memusingkan.

"Itu pas pelajaran Pak Anton. Pas pelajaran saya, dia masuk."

"Jadi, dibiarkan saja seperti itu, Bu?"

"Nanti saya nasihati dia besok."

Saya pikir sudah selesai persoalan.

Ternyata tetap saja sang anak membolos, bahkan sampai lulus esde, anak itu tak pernah nongol di jam pelajaran saya.

Memang, tidak semua guru kelas seperti itu. Ada beberapa guru kelas yang memang memanggil dan menasihati murid-muridnya yang "bermasalah", dan murid-muridnya berubah. Namun lebih banyak guru yang membiarkan dan tak peduli dengan masalah yang saya hadapi.

Saya kecewa dengan respons para guru PNS atau yang sekarang disebut ASN ini. Apalagi waktu salah satu mengatakan, "Gak usah repot, Pak. Kita kerja keras atau santai, tetap digaji sama. Gak perlu repot sama murid-murid yang malas dan sering bolos. Bikin capek ngurusinnya. Mereka juga gak peduli sama kita," kata Mirna, bukan nama sebenarnya, salah satu guru PNS.

Bagi saya, dimana letak tanggung jawab mereka terhadap anak didik? Apalagi ini di tingkat Sekolah Dasar. Posisi mereka pun sebagai guru kelas dimana anak-anak itu menjadi tanggung jawab mereka sebagai guru kelas untuk menerapkan disiplin. Kalau anak-anak ini dibiarkan, mau jadi apa mereka kelak?

Titik balik yang membuat saya harus memutuskan untuk "blusukan" ke beberapa rumah murid adalah waktu ada supervisi.

"Mana buku Bimbingan dan Konseling, buku Tamu, dan buku Penghubungnya, Pak?" tanya Bu Santi, sebut saja begitu.

"Memang harus punya ya, Bu? Bukan cuma guru kelas aja yang harus punya?" tanya saya heran.

"Bapak juga harus punya. Semua guru harus punya ketiga buku itu tanpa terkecuali, karena setiap guru pasti menghadapi masalah dengan murid setiap waktu. Bukan cuma guru kelas saja. 

"Dengan mempunyai ketiga buku tersebut, bapak bisa mengevaluasi peserta didik, mengantisipasi kenapa mereka mempunyai problem dalam belajar, misalnya malas membuat PR, sering tidak masuk pada saat pelajaran bapak, atau mendapat nilai di bawah KKM. Lalu bapak juga bisa memanggil orangtua atau wali murid untuk berdiskusi tentang peserta didik. Untuk mencari solusi, bagaimana memecahkan masalah peserta didik," kata Bu Santi lugas.

Sejak itu, seakan mendapat pencerahan, saya pun menyiapkan ketiga buku tersebut, dan sejak saat itu, saya pun mengambil komitmen untuk menyelesaikan masalah dengan peserta didik sendiri, tidak melibatkan guru kelas yang menyandang status PNS.

Kenapa?

Karena kebanyakan dari mereka tak peduli, tidak mau capek-capek mengurusi hal-hal seperti peserta didik malas mengerjakan PR atau bolos sekolah. Bagi mereka, gaji mereka tak juga bertambah dengan tambahan mengurusi peserta didik yang malas.

Saya sudah bosan berdiskusi dengan guru PNS. 

Tak semua berada di zona nyaman, tak semua sekadar makan gaji buta, namun kebanyakan berperilaku seperti itu, dan tidak mengembangkan kapasitas diri, baik dari segi metode pengajaran, maupun dari keilmuan.

"Yah, meskipun sudah dapat sertifikasi, tapi metode pengajarannya dari dulu sampai sekarang itu-itu saja. Metode ceramah. Gimana Indonesia bisa maju! Mereka juga, setelah pulang, nonton tv aja kerjanya. Baca buku? Mana ada!"

Komentar dari salah seorang rekan guru honorer, sebut saja Gunawan, memang ada benarnya. Sekiranya ada penilaian kinerja yang objektif, pasti mereka tak akan lulus sertifikasi. Untuk Uji Kompetensi Guru (UKG) saja, mereka mendapat nilai yang memilukan.

Tapi, saya sudah tidak peduli dengan guru-guru di zona nyaman ini.

Saya lebih peduli dengan peserta didik saya. Anak-anak didik saya.

Jadi, sejak saat itu, kalau ada anak-anak yang membolos atau tidak mengerjakan tugas pekerjaan rumah lebih dari tiga kali, saya akan mengirim surat panggilan bagi orangtua untuk datang ke sekolah, berdiskusi tentang putra-putri mereka. 

Hasilnya? 

Ada beberapa yang datang memenuhi panggilan surat tersebut, dan persoalan selesai; namun lebih banyak lagi yang tak datang.

Akhirnya, untuk para orangtua yang tak datang ke sekolah, saya memutuskan untuk "blusukan" ke rumah mereka, bertemu dengan orangtua langsung.

Lelah?

Tentu saja, karena saya harus menyediakan waktu, di sela-sela mengajar, dan waktu istirahat, bahkan sebelum saya pergi kuliah.

Ada juga komentar nyinyir dari beberapa guru PNS yang bukannya memberikan solusi, tapi cuma bisa berkomentar miring tentang sepak terjang saya.

"Ngapain sih, Pak, bapak sibuk seperti itu?"

Kalimat seperti ini kebanyakan timbul, namun saya tidak melihat solusi dari pertanyaan seperti itu. Yang saya lihat hanya kemalasan mereka, dan mereka ingin saya seperti mereka.

Memang ada yang salut, mendukung tindakan saya, namun lebih banyak yang nyinyir di belakang saya.

Saya pikir, ini tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada setiap guru. 

Mendidik anak-anak ini, mempersiapkan mereka menjadi anak-anak yang tangguh, bermoral, bermartabat, dan berilmu.

Kalau saya membiarkan peserta didik bertindak semaunya, apa bedanya saya dengan beberapa guru-guru PNS yang malas?

Sekarang saya sudah tidak mengajar sebagai guru di SD. 

Tidak ada penyesalan di hati, mengabdi sebagai guru honorer sekian lama, dengan gaji ala kadarnya, karena ada nilai-nilai kekekalan di balik jerih payah saya. 

Nilai-nilai kekekalan itu adalah waktu bertemu mantan murid SD yang sekarang sudah menjadi karyawan atau pengusaha, dan mereka berkata, "Pak, buku yang berisi lagu-lagu bahasa Inggris yang dulu bapak ajarkan masih saya simpan," atau "Pak, kangen masa lalu, waktu belajar bahasa Inggris sama Bapak waktu di SD," atau "Wah, sayang, bapak gak ngajar di sekolah lagi. Pasti menurun prestasi murid-murid di sekolah."

Dihargai, meskipun hanya lewat kalimat-kalimat sederhana, sudah menyenangkan hati. 

Paling tidak, ada jejak-jejak ilmu pada beberapa mantan murid, dan yang terutama nilai-nilai moral, bahwa jasa guru takkan pernah bisa lenyap, meskipun sudah tak bersua bertahun-tahun. 

Meskipun 21 tahun mengarungi profesi di tengah keterbatasan penghasilan, saya tetap bersyukur. 

Karena warisan ilmu lebih berharga daripada harta yang bisa dicuri orang.

"Mendidik, meninggalkan jejak buat peserta didik, menjadi bekal mereka untuk menghadapi masa depan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun