Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Money

Minimnya Regenerasi Petani dan Mimpi 2045

9 Mei 2019   09:46 Diperbarui: 9 Mei 2019   09:48 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : kicaunews.com

Tak pelak, pangan menjadi pekerjaan rumah yang sukar dilaksanakan di Indonesia, menimbang Indonesia terkenal sebagai negara agraris, namun sayangnya, justru perkembangan pertanian bisa dikatakan jalan di tempat, atau mungkin malah bisa dikatakan mundur.

Kenapa bisa begitu? 

Karena para penggerak pertanian, yaitu petani, mengalami kelangkaan jumlah. Tidak adanya regenerasi, meneruskan tongkat estafet menjalankan pertanian dari yang tua ke yang muda. 

Padahal, Indonesia mempunyai target untuk menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045.

Sisa 26 tahun lagi. 

Apakah itu merupakan target yang muluk? Sebenarnya tidak, namun kalau tidak ada regenerasi petani, target itu akan menjadi sekedar mimpi yang tak mungkin terealisasi. Imbasnya malahan Indonesia akan mengalami krisis pangan, dan menjadi negara pengimpor beras yang tergantung pada negara lain.

Apa sebab minimnya regenerasi petani?

Dari melihat berbagai fakta, ada 5 (lima) sebab utama mengapa regenerasi petani sangat minim.

1. Usia Petani yang mayoritas tua

Menurut Sensus Pertanian 2013 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), ditemukan kenyataan yang mencengangkan.

Ada banyak bagian dalam sensus tersebut, tapi satu bagian tertentu membicarakan tentang penyebaran petani dalam berbagai rentang usia.

Disinilah yang seharusnya menjadi perenungan. 

Dari total petani yaitu 26.135.469 petani yang terdata, rentang usia 45 - 54 tahun mengambil porsi terbanyak sebesar 7.325.544 petani. Disusul di peringkat kedua, usia 35 - 44 tahun sebesar 6.885.100 petani. Peringkat ketiga, usia 55 - 64 tahun sebesar 5.229.903 orang. Posisi keempat, usia lebih dari 65 tahun sebesar 3.332.038 orang. Peringkat kelima, usia 25 - 35 tahun sebanyak 3.129.644 orang.

Peringkat keenam dan ketujuh adalah usia yang terbilang sangat muda dan produktif menyumbang persentase yang sedikit sekali, yaitu 229.943 dan 3297 orang.

Intinya dari semua data di sensus tersebut adalah terjadi penyusutan jumlah petani sebesar 5 juta orang dalam kurun waktu 2003 - 2013. Sebabnya? Generasi muda yang tak berminat pada pertanian. Dan jika kita ingin mengambil persentase dari jumlah rentang usia yang digambarkan di atas, terlihat bahwa petani yang berusia lebih dari 45 tahun mengambil porsi terbesar, yaitu 60,8 persen. Ini tentu saja usia yang jauh dari produktif, dimana kekuatan dan daya tahan tubuh sudah sangat menurun di usia-usia seperti ini.

Diperparah lagi, PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) POPT (Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman) juga sangat minim, dan 70 persen rata-rata berumur lewat dari 50 tahun. Tentu saja, ini tidak ideal dari segi stamina, menyangkut luas areal yang menjadi tanggung jawab mereka.

2. Pendidikan petani yang rendah

Selain usia petani yang berusia lebih dari 45 tahun adalah yang terbesar dari kelompok usia lain, imbas yang tidak mengenakkan berikut adalah tingkat pendidikan para petani. 

Dari total petani, 73,97 persen berpendidikan hanya sampai di jenjang Sekolah Dasar (SD). Ini pun terbagi dalam tamat SD atau malah tak menyelesaikan pendidikan SD-nya.

Hal ini menyebabkan paradigma berpikir dalam memajukan pertanian sangat tidak berkembang. Tidak adanya keinginan untuk lebih maju dalam meningkatkan cara bertani ke arah yang lebih modern (semisal mengganti cara membajak sawah, dari menggunakan bajak dan kerbau menjadi menggunakan traktor, atau menggunakan pestisida ramah alam, dan lain-lain)  dan cara memasarkan hasil panen pertanian ke pihak terkait dengan bagi hasil yang menguntungkan kedua belah pihak, baik pembeli hasil panen maupun petani.

Akibat dari rendahnya pendidikan petani adalah timbulnya poin ketiga.

3. Minimnya transfer ketrampilan pertanian dari orangtua atau masyarakat

Karena rendahnya pendidikan petani, menyebabkan tidak adanya pengajaran kepada generasi muda, baik dari orangtua kepada anak, maupun dari masyarakat petani kepada generasi muda.

Mungkin disebabkan karena :

  • Pengetahuan akan ketrampilan pertanian yang 'itu-itu saja' dari petani generasi tua, sehingga mungkin para petani generasi tua ini mengira anak atau generasi muda mereka sudah tahu sendiri dan belajar sendiri dari kegiatan bertani rakyat tanpa perlu diajari.

  • Perpindahan generasi muda ke kota untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena keinginan sendiri dan juga orangtua yang ingin hidup mereka berubah sehingga juga menjadi penyebab generasi muda tidak dekat dengan dunia pertanian.

Tak heran, generasi muda merasa asing dengan dunia pertanian, meskipun mereka lahir dan besar di dunia itu. Karena tidak ada yang mengajar dan membimbing mereka di dalam mengusahakan pertanian.

4. Kebanyakan lulusan fakultas pertanian tak mau jadi petani

Ini menjadi ironi. Menyandang status Sarjana Pertanian, tapi berkecimpung di bidang lain yang sama sekali melenceng dari disiplin ilmu yang diperoleh.

Di satu sisi, tidak bisa menyalahkan kalau mereka memilih pekerjaan yang berbeda jauh dari bidang pertanian.

Kalau orangtua yang menyarankan, meminta mereka untuk bergelut di profesi lain, karena kebanyakan orangtua yang berprofesi sebagai petani, tidak ingin anak-anak mereka mengikuti jejak yang sama.

Lagipula, dalam pikiran orangtua, untuk apa kuliah tinggi-tinggi, sudah jadi sarjana, kalau ujungnya, jadi petani juga. Profesi pekerja kantoran, memakai jas lengkap dengan dasi, mendapat gaji bulanan yang tetap, semua itu adalah idaman bagi mereka, para orangtua petani untuk anak-anak mereka.

Kalau dari sisi lain, yaitu sisi generasi muda penyandang gelar Sarjana Pertanian adalah kebanyakan dari mereka tidak ingin berpeluh keringat bercampur tanah di tengah panas terik matahari di tengah sawah. Mungkin mereka sudah 'terkontaminasi' dengan ruang yang sejuk berpendingin, sehingga mereka mengharapkan mendapat pekerjaan yang nyaman di kantor atau instansi tertentu yang bebas dari hama dan tanah.

Belum lagi kalau menghadapi hama, gagal panen pun bisa terjadi. Otomatis, penghasilan dari penjualan panen, yang diharapkan besar, menjadi buyar. Ketidakpastian pendapatan itulah yang menyebabkan mereka ingin berkarier sebagai karyawan.

Terutama, kebanyakan hasil dari menjual panen tidak seberapa dibanding kenaikan harga kebutuhan pokok sehari-hari, dan juga untuk membayar biaya-biaya yang berjenjang ke masa depan seperti : biaya sekolah, kuliah, cicilan kendaraan bermotor, cicilan pembelian rumah, tabungan dana pensiun, dan sebagainya.

5. Infrastruktur desa yang tidak memadai

Pasti sudah tidak asing lagi dengan tugas menggambar sewaktu kecil dulu di SD. 

Dulu, saya menggambar dua gunung sebelah menyebelah, dan matahari ada di tengah-tengah dua gunung tersebut, dan di depan gunung-gunung, terpapar sawah. Para petani menanam padi di sawah waktu pagi, dengan diiringi kicau burung.

Teman-teman saya pun menggambar hal yang serupa.

Herannya, kebanyakan anak-anak sekarang pun menggambar hal yang sama, sewaktu guru meminta mereka untuk menggambar. 

Saya tidak tahu, apakah guru memberi contoh gambar pemandangan seperti itu di papan tulis, sehingga peserta didik meniru, karena anak-anak adalah peniru ulung, mereka meniru apa yang setiap orang dewasa lakukan; atau paradigma anak-anak dari masa ke masa tetap sama.

Apa paradigma itu?

Yaitu desa jauh sekali dari yang namanya kemajuan, baik teknologi, maupun informasi. 

Desa diidentikkan "murni", jauh dari polusi, jauh dari peradaban negatif, dan jauh-jauh yang lain.

Bagi saya, stigma itulah yang kemungkinan dipegang oleh kebanyakan pemegang tampuk pemerintahan, sehingga terjadi pembiaran akan desa dan ketertinggalan tetap terpelihara, supaya desa tidak "terkontaminasi".

Itu, saya rasa, yang menyebabkan urbanisasi generasi muda dari keturunan-keturunan petani, dari desa ke kota untuk meneruskan pendidikan, karena sekolah-sekolah menengah seperti SMP dan SMA tidak tersedia di desa.

Namun yang paling fatal adalah buruknya infrastruktur di desa. Seharusnya, tidak ada pembedaan soal infrastruktur, baik kota mau pun desa. Dalam hal ini, paling tidak infrastruktur dasar harus terpenuhi dengan baik, karena desa yang maju adalah desa yang memiliki infrastruktur dasar yang baik, seperti fasilitas jalan yang baik, air bersih yang memadai, dan juga listrik yang tersedia dengan lancar 24 jam.

Kalau infrastruktur dasar terpenuhi, tentu saja akan mendorong kegairahan generasi muda untuk berkecimpung di bidang pertanian di desa.

Mimpi 2045 hanya akan jadi mimpi belaka?

Mimpi dimana Indonesia menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045 akan tetap menjadi mimpi, jika tak ada tindakan nyata.

Dalam hal ini, pemerintah harus memikirkan solusi bagaimana memecahkan masalah-masalah di atas, supaya tidak terus berkepanjangan.

Jika tetap dibiarkan seperti sekarang, diprediksi ke depan, Indonesia akan mengalami krisis pangan, sehingga terpaksa menggantungkan ketahanan pangan ke negara lain.

Apakah itu yang Indonesia maui?

"Kiranya, Indonesia menjadi pelaku, bukan jadi penonton saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun