Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Senyum Mereka Membuat Hariku Kembali Ceria

16 Maret 2019   15:54 Diperbarui: 16 Maret 2019   16:03 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kadang-kadang saya berpikir, "Kok bisa ya, aku ngajar di esde."

Memang saya tak pernah membayangkan dan bermimpi sedikit pun sewaktu usia belia, kalau saya akan mengajar di esde. Jangankan mengajar di esde. Bermimpi menjadi guru saja tak pernah terlintas di benak sewaktu masih sekolah dulu.

Namun inilah dia. Sekarang saya menjadi guru.

Meskipun saya tidak mengajar di esde lagi, namun bukan berarti saya menganggap pengalaman itu membuat saya menyesal pernah menjalaninya.

Tidak ada yang terjadi secara kebetulan.

Tuhan sudah menentukan kehidupan saya, merencanakan sebelum saya ada. 

Lagipula, alih-alih benci, sebenarnya saya sangat suka mengajar anak-anak kecil atau anak usia dini.

Selalu saya mengambil analogi "Mendidik anak usia dini itu seperti memahat di atas batu; dan mendidik remaja dan orang dewasa seperti memahat di atas air."

Mungkin bagi pengajar atau pendidik, analogi itu tak asing lagi. Bagi masyarakat awam, mungkin tidak tahu artinya. Makna analogi di atas adalah "mendidik anak usia dini itu menyakitkan. Baik bagi anak itu sendiri, mau pun bagi kita sebagai pendidik. Upaya keras untuk memahat, membentuk, menjadikan hasil yang baik. Setelah upaya keras tak kenal menyerah, hasil didikan itu akan terlihat nyata. Akan terbentuk "patung yang indah"; anak-anak yang hebat, rajin, taat pada orangtua, berkarakter baik; jikalau "proses memahat" itu,  didikan kita benar, terarah, dan terus menerus."

"Namun berbeda dengan remaja dan orang dewasa. Mendidik mereka ibarat memahat di atas air. Tidak butuh tenaga yang kuat. Ringan dalam memahat, namun waktu mengangkat pahat, air menutup kembali. Tidak ada bekas pahatan sama sekali. Seakan apa yang dilakukan tidak ada faedahnya. Karena mereka sudah terbentuk dari keluarga, lingkungan yang sudah memberikan "bentuk" bagi mereka. Sehingga tentu saja, kita tak bisa membentuknya kembali, karena mereka sudah mempunyai bentuk akhir. Kecuali kalau mereka mau berubah, dan itu harus dari kemauan mereka sendiri."

Bercermin pada analogi ini, maka saya lebih suka mengajar anak-anak usia dini, meskipun harus "berdarah-darah" terlebih dahulu.

Saya pernah punya pengalaman mengajar murid (di ruang kelas sekolah, bukan les privat ^_^) SMP, SMA, dan pernah mendapat "durian runtuh", yaitu menjadi asdos alias asisten dosen selama dua semester di universitas tempat saya menimba ilmu. 

Dari tiga tempat ini, saya mengambil kesimpulan bahwa semakin tinggi usia, semakin sulit "memahatnya" seperti analogi di atas. Saya pun tidak bisa tahu yang mana siswa atau mahasiswa yang benar-benar suka belajar atau cuma pura-pura suka belajar.

Anak usia dini? Tidak ada kepura-puraan dalam diri mereka.

Itulah yang saya suka dari mereka. Meskipun harus "bersakit-sakit dahulu" ^_^.

Melihat senyum mereka membuat sakit pun lenyap seketika

dokpri
dokpri
Di semester satu di tahun 2018 lalu, waktu saya masih mengajar di salah satu esde negeri di Samarinda, untuk pertama kalinya, dalam satu sekolah, saya mengajar dari kelas satu sampai enam. Total 19 kelas. 

Di waktu-waktu sebelumnya, saya cuma mengajar dari kelas empat sampai enam, yang totalnya cuma sembilan kelas. Untuk menambah penghasilan, saya mengajar les privat di luar sekolah.

Namun dengan adanya pelipatan dari 9 jadi 19 kelas yang menjadi tanggung jawab saya, itu merupakan tantangan tersendiri buat saya. Kenapa? Karena saya belum pernah mendapat kelas sebanyak itu dari satu sekolah. 

"Ya, karena Pak Hadi (bukan nama sebenarnya) tidak mengajar di sekolah kita lagi, jadi saya meminta bapak untuk menangani semua kelas. Dari kelas satu sampai enam. Saya yakin, Bapak sanggup. Kemampuan bapak sudah tak diragukan lagi. Tentu saja, bapak akan mendapat honor dua kali lipat. Bapak bersedia?" kata Ibu kepala sekolah, sebut saja Bu Andrea.

Sempat ragu, namun saya lalu berkata, "Bersedia, Bu." Bagi saya, ini adalah tantangan. Beberapa teman saya yang guru honorer bisa menjalani, meskipun mengeluh luar biasa. Saya ingin tahu seberapa capeknya menghadapi tantangan mendidik anak usia dini.

Di dua bulan pertama, saya mendapati hal yang kurang menyenangkan, yaitu pinggang sebelah kanan terasa sakit. Saya berasumsi, mungkin karena saya mengajar siswa-siswi  kelas satu dan dua yang meja mereka lebih rendah dari meja siswa-siswi kelas empat, lima, dan enam. Padahal saya mempunyai tinggi badan sekitar 180 cm. Cukup tinggi untuk ukuran orang Indonesia, kata beberapa teman saya ^_^.

Akibatnya, saya harus menunduk lebih sering dari biasa, karena namanya anak-anak usia dini, mereka perlu pendekatan lebih intensif dibanding kakak-kakak kelasnya di kelas empat, lima, dan enam.

Tapi, saya tak menyalahkan kondisi itu. Saya berusaha mencari solusi, bagaimana saya bisa sembuh dari sakit pinggang ini. 

Saya pun berusaha melakukan peregangan otot pinggang, seperti yang ada di buku yang pernah saya baca, masukan dari para guru olahraga di sekolah, atau dari internet; dan tetap melakukan olahraga secara teratur.

Ajaib. Bulan ketiga, sakit itu hilang. Lenyap. Puji Tuhan ^_^.

"Namun, mungkin juga karena tubuh bapak butuh penyesuaian, karena mengajar 19 kelas belum pernah dilakukan sebelumnya," kata Pak Ronald (bukan nama sebenarnya), salah satu teman, memberi kesimpulan.

Mungkin juga ada benarnya. Badan saya butuh adaptasi. Namun tetap campur tangan Tuhan ada dalam kesembuhan saya.

Tapi, yang menarik justru di bulan pertama dan kedua ini, di waktu pinggang saya lagi berada di puncak kesakitan tiada tara. Di saat seperti itu, berpikir dan bergerak sedikit saja menimbulkan gertakan gigi yang aduhai.

Namun, entah kenapa, terkadang melihat kelucuan dan keluguan anak-anak kelas satu dan dua ini, sakit pinggang saya terkadang hilang.

Memainkan gitar untuk mengajak mereka menyanyi; meminta mereka mewarnai buku paket mereka; dan perkataan mereka yang terkadang menimbulkan senyum dan tawa yang spontan dari saya yang cenderung kaku, serius adanya.

Kelucuan mereka seakan menjadi obat sakit pinggang saya ^_^.

Senyum Mereka Membuat Hariku Kembali Ceria

Namun sebetulnya hati, jiwa saya merasa tak puas dengan hidup yang saya jalani. Saya suka mengajar anak-anak, namun saya tak suka dengan honor yang saya peroleh.

Saya tak menyalahkan kepala sekolah atau pengambil kebijakan perihal honor untuk guru honorer, karena mereka terbentur dengan Undang-undang, peraturan yang mengatur tentang itu.

"Saya minta maaf, Pak Anton. Saya ingin memberikan lebih. Tapi ada aturannya," kata Bu Andrea.

"Saya tidak menyalahkan anda, Bu. Saya mengerti kondisinya," kata saya, untuk menenangkan Bu Andrea, sewaktu memutuskan resign dari sekolah.

Saya pun juga menjelaskan bahwa keputusan saya untuk resign juga bukan disebabkan karena gesekan dengan rekan guru di sekolah. "Saya ingin berwirausaha, sembari tetap menjalankan profesi saya sebagai guru, namun sebatas mengajar les privat bahasa Inggris ke rumah-rumah. Tidak masalah dengan rekan guru yang lain. Ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari," saya menjelaskan pada ibu kepala sekolah.

Meskipun tidak mudah menjalankan wirausaha, yaitu bisnis online (apa bisnis online saya? Lain waktu, saya akan menulis artikel-artikel terpisah tentang bisnis online saya di Kompasiana. Tunggu saja tanggal mainnya ^_^.) dan les privat.  Karena saya harus mengatur jadwal dan disiplin dengan jadwal yang saya buat, serta menjaga konsistensi. 

Secara tak sengaja, waktu saya melihat-lihat foto-foto yang ingin saya hapus dari hape, untuk 'melegakan' memori hape, saya menemukan foto-foto malaikat-malaikat mungil nan lucu ini.

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Ini terjadi di hari Sabtu, tanggal 3 November, di semester satu, tahun 2018 lalu. Itu menurut informasi foto di hape saya. Murid-murid mendapat susu gratis di pagi hari dari salah satu produsen susu ternama di Indonesia. 

Meskipun di hari itu, saya merasa loyo karena ada kejenuhan menjalani hari seperti biasa di tengah kekurangan secara finansial, namun senyum mereka, kegembiraan mereka, kepolosan mereka, karena mendapat segelas susu hangat, hal yang sederhana, tapi membuat mereka bersukacita, mengakibatkan saya pun gembira. Hari saya menjadi ceria.

"Kata teman-temanku yang alumni SMA, mereka bilang aku kelihatan awet muda. Mungkin karena ngajar anak esde, makanya awet muda. Begitu kata mereka. Mungkin juga ya," kata Lina (bukan nama sebenarnya), salah seorang teman guru esde dari sekolah lain, "Pak Anton juga keliatan muda. Gak berubah dari dulu."

Yah, mungkin kata teman saya, Lina, benar adanya. Saya banyak tertawa, tersenyum melihat tingkah polah anak-anak kecil ini. Mereka mengajarkan kesederhanaan hidup dari sekedar mendapat segelas susu hangat saja, mereka sudah ceria, gembira, bermain bersama teman sebaya, sambil menikmati susu hangat yang mungkin sudah biasa mereka nikmati di rumah bersama orangtua tercinta, namun bersama teman, jadi berbeda.

Kenangan ini, tak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Belajar tidak mesti dari bangku sekolah atau kuliah, karena kita bisa belajar dari mana saja dan siapa saja, termasuk dari anak-anak, karena dari keceriaan mereka, senyum mereka, saya belajar, bahwa bahagia itu tidak rumit, tidak harus punya uang banyak, atau mobil seabrek, atau sering bepergian ke luar negeri.

Bahagia itu sederhana. Bisa menikmati susu hangat bersama teman, itu pun bisa membuat kita bahagia.

Pengalaman ini tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Saya akan mematrinya di dalam hati saya, dan menuangkan memori ini di artikel Kompasiana ini sebagai pengingat bahwa bahagia itu ada di sekeliling kita. Tidak usah menunggu kesempurnaan. Tidak usah menunggu harus punya banyak uang, mobil mewah, atau rumah gedongan. Karena, bahagia itu sederhana. Meskipun cuma ada segelas susu hangat di genggaman tangan, kita pun bisa bahagia.

Jadi, tetaplah bahagia di hati. Jangan isi dengan kepedihan dan kedengkian. Isilah dengan kebahagiaan.

"Bahagia itu Sederhana."

*

Samarinda, 16 Maret 2019

Anton

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun