Bagi generasi milenial, memiliki rumah bukan lagi perkara mudah. Beberapa sebab memiliki rumah tak mudah adalah kenaikan harga tanah dan properti yang tidak sebanding dengan peningkatan penghasilan, biaya hidup yang semakin tinggi, serta beban cicilan, pendidikan anak dan kebutuhan lainnya.Â
Perlu mengatasi seluruh kesulitan itu untuk dapat membeli atau membangun rumah sendiri. Selain itu, gaya hidup konsumtif yang sering kali tidak disadari juga menjadi salah satu penghambat terbesar dalam proses mengumpulkan modal untuk hunian.
Generasi milenial yang termuda di tahun 2025 ini adalah 29 tahun, sedangkan yang tertua adalah 44 tahun. Usia tak lagi belia, sudah sangat membutuhkan rumah untuk hunian keluarga. Â Banyak gen milenial yang berada di kondisi memiliki rumah pribadi masih menjadi impian yang terasa jauh dari kenyataan.Â
Harga tanah dan properti yang terus melambung, sementara gaji cenderung stagnan, membuat membeli rumah menjadi tantangan besar. Ditambah lagi dengan kebutuhan hidup yang kian kompleks, dari biaya transportasi, makan, internet, cicilan kendaraan hingga biaya sekolah anak, membuat menabung untuk rumah sering kali harus ditunda.
Tak sedikit yang memilih hidup berpindah-pindah kontrakan atau bahkan tetap tinggal bersama orang tua karena belum siap menghadapi beban biaya hunian sendiri. Selain tekanan ekonomi, sebenarnya gaya hidup juga turut memengaruhi.Â
Godaan untuk mengikuti tren, traveling, atau membeli barang-barang konsumtif kerap menyita tabungan yang seharusnya bisa dialokasikan untuk sebuah hunian impian. Meski begitu, bukan berarti generasi milenial tidak bisa punya rumah, jika punya strategi dan komitmen yang kuat, rumah Impian dapat direalisasikan.
Membangun Rumah pertama di usia 25 tahun
Saya sebagai gen milenial juga merasakan tantangan itu. Namun pada usia 25 tahun, tepatnya di tahun 2013, saya berhasil membangun rumah pertama di Ambon. Keputusan membangun rumah pribadi saat itu karena berat rasanya jika harus terus-menerus tinggal di rumah kontrakan.Â
Selama enam tahun sebelumnya, saya tinggal di satu rumah kontrakan yang sangat sederhana dan murah biaya kontraknya. Sederhana bukan karena tak mampu, tapi karena memilih untuk hidup hemat agar bisa menabung. Walau ada saja yang mencibir, menganggap rumah kontrakan tidak layak atau kurang bagus, saya tidak ambil pusing. Prioritas kala itu yang terpenting adalah memiliki tujuan dan berani memperjuangkannya yaitu memiliki rumah sendiri dan berhenti mengontrak rumah lagi.
Bahkan rumah belum total jadi, sudah dihuni. Saya menghuninya di saat belum 100% pembangunan tuntas. Sebab uang yang dimiliki belum cukup. Hanya mampu berdiri dan tertutup atapnya. Daripada terus mengeluarkan biaya kontrak rumah sembari menunggu uang pembangunan terkumpul yang entah kapan, lebih baik dihuni sembari menabung untuk finishing-nya.
Tahun 2019, saya harus meninggalkan rumah pertama karena tugas ke Seberang yaitu ke Pulau Buru. Di tempat baru, saya memulai lagi dari nol. Selama tiga tahun bertugas, saya kembali menabung dengan disiplin. Hasilnya, pada tahun 2022 saya berhasil membangun rumah kedua.Â