Pada tanggal 6 Februari 2025, dunia sastra Indonesia memperingati 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan terbesar yang pernah dimiliki negeri ini. Pramoedya, atau yang akrab disebut Pram, bukan sekadar seorang penulis, tetapi juga seorang pejuang kata yang berani menyuarakan sejarah dan kemanusiaan melalui karyanya.
Dalam momentum seabad kelahirannya, saya ingin mengenang warisannya serta berbagi pengalaman pribadi yang terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Kebetulan saya tinggal dan tugas di Pulau Buru, pulau yang sama dengan lokasi Pramoedya Ananta Toer diasingkan pada masa orde baru.
Warisan Sastra Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer dikenal dengan karya-karya yang menggugah kesadaran sejarah, terutama Tetralogi Buru---"Bumi Manusia", "Anak Semua Bangsa", "Jejak Langkah", dan "Rumah Kaca". Buku-buku ini tidak hanya menjadi bacaan yang menginspirasi berbagai kalangan, tetapi juga merupakan refleksi dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia.Â
Pram menulis tetralogi ini di tengah keterbatasan sebagai tahanan politik di Pulau Buru, tempat di mana kebebasan berpikir dan berekspresi ditekan, namun semangat berkarya tak pernah padam.
Selain tetralogi tersebut, banyak karya Pramoedya yang mencerminkan ketajaman analisis sosial dan kritik terhadap ketidakadilan. "Gadis Pantai", "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer", dan "Arus Balik" adalah beberapa judul lain yang menunjukkan betapa luas wawasan dan kepedulian Pram terhadap sejarah dan nasib bangsanya.
Inspirasi dari Pramoedya dalam Penulisan Buku "Suryakata Pulau Buru"
Sebagai seseorang yang bertugas dan tinggal di Pulau Buru, saya memiliki kedekatan emosional dengan tempat ini---tempat yang pernah menjadi saksi sejarah perjuangan Pram dalam mempertahankan gagasan dan karya-karyanya.Â
Ketika menulis buku Suryakata Pulau Buru, saya tidak bisa melepaskan diri dari jejak sejarah yang ditinggalkan Pramoedya. Kisah-kisah yang tertulis dalam buku Suryakanta Pulau Buru pun lahir dari refleksi atas kehidupan di Pulau Buru dari masa ke masa.
Pramoedya menulis dalam keterbatasan, tanpa pena dan kertas pada awalnya, tetapi mampu menghasilkan karya yang begitu monumental. Hal ini mengajarkan saya bahwa menulis bukan sekadar menciptakan cerita, melainkan juga menanamkan kesadaran, menggugah pemikiran, menggali informasi, Â dan menyampaikan gagasan.
Dengan fasilitas memadai, listrik maksimal, sinyal internet baik dan perangkat komputer canggih, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menulis. Harusnya merasa malu jika mengingat kesulitan fasilitas yang Pram hadapi dalam menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan selama di Pulau Buru sebagai salah satu tahanan politik orde baru.Â
Dalam proses menulis Suryakata Pulau Buru, saya berusaha untuk menghadirkan kisah yang tidak hanya menggambarkan keindahan alam Pulau Buru, tetapi juga menggali narasi yang lebih dalam tentang sejarah dan kehidupan di dalamnya. Pada buku Suryakanta Pulau Buru, cerita yang disajikan merupakan cerita fiktif yang dikemas dalam balutan nuansa kehidupan dan lokasi yang nyata di Pulau Buru.