Mohon tunggu...
Ilham Anugrah
Ilham Anugrah Mohon Tunggu... Konsultan - People Development and Learning Development Specialist

Learn more, share more

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tren "Quiet Quitting" Ramai di Dunia Kerja, Apa Itu Sebenarnya?

5 Desember 2022   20:50 Diperbarui: 5 Desember 2022   21:15 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena quiet quitting sedang ramai diperbincangkan saat ini. Sederhananya, quiet quitting adalah istilah yang digunakan untuk perilaku kerja yang ‘secukupnya’ sesuai dengan kontrak kerja tanpa memberikan effort lebih untuk perusahaan. Atau dengan kata lainkerja sesuai harga.

Quiet quitting sendiri menjadi ramai diperbincangkan setelah viralnya bahasan mengenai ini di sosial media TikTok. Banyak orang menyetujui dan mengikuti tren ini karena dianggap mewakili keresahan mereka yang selama ini merasakan adanya ketidakseimbangan antara beban pekerjaan dengan porsi kehidupan pribadi atau dalam istilah populer dikenal sebagai work-life balance.

Mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (work-life balance) itu sendiri sebenarnya punya manfaat bagi kesehatan mental para pekerja agar tetap ‘waras’ dan terhindar dari stress berat akibat pekerjaan (burnout).

Meskipun terlihat punya tujuan yang menyehatkan secara mental, tetapi apa sebenarnya dampak quiet quitting bagi pekerja itu sendiri? Yuk kita bahas.

#1. Menurunnya Daya Kolaborasi

Source image: entrepreneur.com
Source image: entrepreneur.com

Salah satu bentuk quiet quitting adalah bekerja sesuai dengan jam kerja yang sudah ditentukan. Di luar itu, pekerja dengan quiet quitting enggan untuk dihubungi perihal urusan pekerjaan, bahkan juga menarik diri dari acara-acara kantor & obrolan-obrolan yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.

Bisa dibayangkan jika pola komunikasi yang terjadi antar rekan kerja seperti ini. Interaksi yang terjadi hanyalah sebatas komunikasi koordinatif saja. Padahal, untuk mencapai peak performance dalam pekerjaan, interaksi yang dibutuhkan adalah interaksi yang kolaboratif antar rekan kerja. Komunikasi kolaboratif juga salah satunya dipengaruhi oleh kedekatan personal atau keakraban sesama rekan kerja.

So, gimana jadinya ya kalau ngobrolnya hanya sebatas formalitas pekerjaan saja? Apakah masih bisa eksploratif dan menumbuhkan daya kolaborasi yang maksimal dalam pekerjaan?

#2 Kehilangan Kesempatan Mengembangkan Diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun