Mohon tunggu...
Rama Halim Nur Azmi
Rama Halim Nur Azmi Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Man Jadda Wa Jada

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Polemik Qanun Poligami Part 1, Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional

17 Juli 2019   20:03 Diperbarui: 17 Juli 2019   20:04 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru -baru ini jagat maya tengah dihebohkan dengan polemik legalisasi qanun tentang poligami di aceh. Tentu saja hal tersebut menuai pro kontra dari masyarakat. Banyak masyarakat yang setuju dan ada pula yang mengecam aturan tersebut apalagi dari kaum hawa.

Istilah poligami bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia ini. Banyak orang yang melakukan poligami dengan alasan tertentu. Namun, saat Aceh ingin membuat suatu aturan mengenai legalisasi poligami hal tersebut menjadi suatu polemik di tengah masyarakat. Pada bagian pertama ini penulis akan membahas polemik tersebut dari perspektif hukum islam dan hukum nasional berdasarkan Undang Undang Perkawinan.

Dalam Alquran pada surat An Nisa' ayat 2--3 disebutkan bahwa nikahilah dua, tiga, atau empat wanita tapi apabila kamu tidak bisa berlaku adil maka nikahilah satu saja. Ketentuan tersebut menjadi dasar dalam hukum islam bagi para lelaki untuk menikah dengan lebih dari satu wanita dengan syarat dapat adil kepada seluruh istrinya. Namun, definisi adil itu sendiri kembali kepada perspektif masing masing orang yang tidak bisa disamaratakan. Sehingga hal tersebut menyebabkan banyak para istri yang tidak mau suaminya menikah untuk kedua, ketiga, atau keempat kalinya. 

Ketentuan berlaku adil tersebut adalah dengan syarat bahwa suami tersebut mampu memberikan nafkah lahir batin kepada semua istrinya dan semua istrinya tersebut merasa adil akan perlakuan suaminya. Pada praktiknya ada beberapa tokoh terkenal yang melakukan poligami dan terbukti kondisi rumah tangganya baik baik saja. Tetapi ada pula yang hancur bahkan berujung pada perceraian.

Kemudian saat hukum islam menjadi salah satu bagian dalam sistem hukum nasional dibuatlah suatu kodifikasi hukum tentang perkawinan yang tertuang di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam undang undang tersebut memang dinyatakan bahwa seorang suami boleh menikah lebih dari satu orang istri selama diperbolehkan oleh hukum agamanya.

Hal ini sebetulnya telah memberikan legalisasi bagi setiap lelaki yang ingin melakukan poligami. Untuk melakukan poligami tersebut dibutuhkan beberapa syarat yang harus dipenuhi dan dibawa ke Pengadilan Agama sehingga diperoleh izin dari istri pertama agar suami dapat menikah lagi.

Ketentuan tersebut tidak lepas dari ketentuan dalam hukum islam sendiri bahwa seorang suami dapat menikah dengan lebih dari seorang istri. Aceh seperti yang diketahui bersama sebagai provinsi yang memiliki kekhususan daerah yaitu menerapkan hukum islam di daerahnya. Sehingga sebenarnya apabila kemudian Aceh mengeluarkan qanun tentang poligami itu sah saja secara hukum karena daerah tersebut memiliki kekhususan tersendiri dan tidak bertentangan dengan sistem hukum Indonesia.

Namun, aturan tersebut menjadi masalah ketika dimanfaatkan oleh kaum lelaki dengan tujuan menuntaskan syahwat semata. Karena seperti yang diketahui bersama undang undang perkawinan tersebut saja sejak awal dikatakan bias gender yaitu menguntungkan salah sattu gender saja yaitu lelaki. Apabila kemudian qanun tersebut benar diterbitkan maka anggapan bias gender tersebut benar adanya.

Tak bisa kita naifkan bahwa memang tujuan qanun tersebut agar menghindari maraknya nikah siri yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Tetapi benar pula yang dikatakan oleh sebagian pihak bahwa tidak perlu ada qanun tersebut karena undang undang perkawinan memang memperbolehkan poligami dengan memenuhi syarat tertentu dan diperbolehkan oleh agama. Sehingga memang legalisasi poligami ini menuai pertanyaan apakah sekadar memberikan kekuatan hukum bagi kaum lelaki untuk memenuhi keinginan syahwatnya atau memang ingin melindungi hak hak kaum wanita.

Apabila dasar pembuatan qanun ini untuk meminimalisasi nikah siri yang marak di masyarakat maka sebenarnya ada tindakan yang lebih baik lagi yang dapat diambil.  Secara regulasi nasional pun sebenarnya memang nikah siri tersebut sah secara agama tetapi tidak sah secara negara karena tidak dicatat oleh catatan sipil.

Oleh karenanya, alangkah lebih baiknya dibandingkan mengeluarkan qanun yang menuai polemik lebih baik memberikan pemahaman sadar hukum bagi masyarakat. Karena dengan memberikan kesadaran hukum bagi masyarakat maka al tersebut tentu tidak menuai polemik.

Masyarakat banyak yang melakukan nikah siri tersebut memang agar dapat menikah lagi tanpa izin dari istri pertama. Sedangkan untuk menikah lagi secara sah membutuhkan izin dari istri pertama yang kemudian disahkan oleh pengadilan agama. Nikah siri tentunya merugikan kaum wanita karena statusnya tidak dicatat di pencatatan sipil. 

Oleh karenanya lebih baik bagaimana memberikan kesadaran hukum bagi masyarakat agar tidak melakukan nikah siri. Apabila memang ingin menikah lagi silakan tempuh jalur sesuai aturan yang berlaku. Selain boros anggaran dengan menetapakan qanun baru yang tentunya membutuhkan sidang di dewan perwakilah rakyat yang menguras uang rakyat huga aturan tersebut sudah diatur dalam UU Perkawinan. Alangkah lebih baiknya apabila para wakil rakyat lebih memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat agar tidak adanya suatu ketimpangan sosial di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun