Era milenial merupakan era dimana teknologi dan kecepatan informasi bergabung menjadi satu. Hanya dengan gadget, kita bisa mengakses informasi dari mana saja dengan mudah. Di era ini, seringkali begitu mudah menyerap pandangan dari luar. Seseorang bisa dengan mudah meniru gaya hidup artis korea, cara berpakaiannya pun juga berubah mengikuti artis korea. Ada juga yang menyebarap paham khilafah. Orang semacam ini patut diwaspadai, karena berpotensi melakukan perilakuk radikal dan intoleran.
Era milenial memang era yang sangat menyenangkan. Â Kita bisa mengadposi apa saja untuk kita jadikan pegangan. Namun dibalik era yang menyenangkan tersebut, tentu harus tetap tidak boleh melupakan tentang jati diri kita sebagai warga negara Indonesia. Boleh kita menggunakan gaya hidup seperti artis korea, tapi jangan lupa bahwa kita masih punya adat istiadat yang melekat dalam keseharian kita. Boleh kita menyerap paham atau informasi apa saja, tapi ingat kita tetap menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara.
Mengingat Indonesia tidak hanya mengenal sisi luar, tapi harus memahami sisi dalamnya. Apa itu? Memahami tentang karakter masyarakat Indonesia, yang penuh keberagaman. Memahami setiap keberagaman yang ada. Setiap keragaman mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang berbeda. Meski berbeda, keberagaman nilai itu masih tetap bersatu, tetap hidup berdampingan dan tetap menghargai antar sesama karena merasa hidup di tanah yang sama, yaitu negara kesatuan republik Indonesia.
Memahami Nusantara di era milenial, akan menjadikan introspeksi. Kenapa? Kita akan menjadi lebih bijak dan tidak sembarangan dalam merespon setiap informasi. Yang terjadi saat ini adalah, banyak orang mudah marah hanya karena termakan oleh informasi hoaks. Banyak orang melakukan persekusi, karena terprovokasi karena dianggap orang atau kelompok tersebut kafir. Banyak orang melakukan aksi teror bom bunuh diri, karena hal tersebut dianggap menjadi bagian perjuangan menegakkan agama. Padahal, pemahaman tersebut jelas salah.
Jika kita memahami Nusantara, maka kita akan mengenal istilah tepo seliro, tenggang rasa, atau dalam bahasa yang mudah dimengerti adalah toleransi. Dalam bahasa Jawa juga dikenal istilah unggah ungguh, dimana rasa saling menghormati dan menghargai harus terus ada. Di Manado, dikenal falsafah torang samua basudara, dimana kita semua adalah bersaudara. Di Minahasa, juga dikenal falsafah Sitou Tomou Tomou To, yang artinya setiap manusia hidup harus selalu memanusiakan manusia lain. Dan masih banyak lagi nilai-nilai positif yang diajarkan oleh para nenek moyang kita.
Mari kita terus kuatkan diri tentang literasi kearifan lokal, agar kita tidak lupa akan sejarah keindonesiaan. Dengan tetap mengedepankan paham kebangsaan, diharapkan kita tetap berusaha untuk menjaga Indonesia, dari segala pengaruh buruk. Dan yang tak kalah pentingnya adalah, di era milenial ini, segala perilaku dan ucapan yang muncul harus terus terjaga, agar pesan-pesan yang muncul adalah pesan yang menyejukkan, pesan yang merangkal, dan pesan yang memberikan inspirasi positif.