Mohon tunggu...
HALIM BAHRIZ
HALIM BAHRIZ Mohon Tunggu... -

www.awalpekan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Perlu Segera Dicanangkan Hari Pasar Rakyat Nasional

27 Januari 2017   00:29 Diperbarui: 27 Januari 2017   19:47 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
citra pasar di masalalu dalam lukisan iwan a.wiryawan

: Sebuah Upaya Melampaui Sekadar Urusan Jual-Beli

5 tahun lalu, saya tak punya kekhawatiran bahwa keluarga, juga tetangga-tetangga yang mukim di kampung, akan sukarela berbelanja dengan harga lebih mahal hanya karena tempat yang ber-AC atau pelayan yang memakai seragam dan menggunakan senyum dalam sebentuk keramahan prosedural. Hingga suatu hari, seorang ibu muda merayu anaknya yang sedang menangis.

Katanya, “Cup.. cup... kalau nangis terus, nanti nggak diajak ke ...[menyebut nama sebuah minimarket]”. Semenjak itu, saya punya pandangan lain terhadap keberadaan pasar rakyat. Bukan tentang apakah “suatu tempat di suatu saat nanti akan kehilangan pasar tradisionalnya,” tapi lebih kepada lunturnya jalinan kultural antara masyarakat dan pusat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari tersebut.

Kehadiran minimarket, diakui atau tidak, telah mempercepat terkelupasnya makna sosial dari rutinitas belanja masyarakat. Hubungan antara pedagang dan pelanggan tak lagi menghasilkan keakraban; canda, percakapan, pertukaran informasi—bahkan semacam fungsi kontrol moral atas dinamika kehidupan bersama turut pula non-aktif. Minimarket telah mengubah yang (di titik tertentu) sesungguhnya melatih seseorang untuk berbaur, sekaligus memahami berbagai karakter individu-individu dalam ruang pergaulan di tempatnya bermukim; menjadi aktivitas transaksional yang sepenuhnya tentang hasrat membeli dan kecanggihan meraup untung.

Di sisi lain, keunggulan pasar rakyat yang tidak tergantikan, barangkali ini: pasar merupakan representasi yang relatif jujur atas kebutuhan masyarakat yang tiap hari berbelanja di sana. Minimarket tidak. Ia membuat keseragaman, bahkan dalam skala nasional—dan (tanpa kita sadari) sudah mengeser pengertian “kebutuhan” menjadi “keinginan”. Batas kecukupan hidup, secara diam-diam, turut tergeser juga. Pasar “memenuhi kebutuhan” sedangkan minimarket cenderung “menciptakan kebutuhan”.

Di kampung saya, sekitar 3 tahun lalu, minimarket satu-satunya pertama kali berdiri. Dengan cepat, keberadaannya menjadi semacam tempat rekreasi, khususnya untuk anak-anak kecil. Hal tersebut didorong oleh—terutama—ibu-ibu muda yang semasa lajang sempat menempuh pendidikan menengah pertama, atau perguruan tinggi, di sejumlah kota. Dari generasi mereka inilah, “ikatan kultural” yang telah saya sebut di atas mulai terasa luntur. Kepulangan mereka sebagai generasi terdidik seakan-akan menjadikan mereka sebagai trendsetter. Gampang ditiru dan mempengaruhi. Maka, perkataan sejenis “Cup.. cup... kalau nangis terus, nanti nggak diajak ke...” bukan mantera rayuan yang langka lagi.

Sebenarnya tak menjadi soal orang menghabiskan uang dimana, tapi kenyataannya: hanya pasar tradisionallah satu-satunya tempat yang masih menawarkan keterhubungan kesibukan belanja dengan sirkulasi kehidupan sosial setempat. Dan di situlah poin terpenting mengapa pasar rakyat harus selamanya ada. Selain—tentu saja, karena juga hanya pasar tradisional yang menyediakan dirinya sebagai ruang berdagang bersama bagi barang-barang produksi endemik di suatu wilayah.

Keakraban di pasar tradisional yang direkam oleh lukisan karya Dandan SA
Keakraban di pasar tradisional yang direkam oleh lukisan karya Dandan SA
Keberadaan pasar bersifat mempertautkan. Bukan memisahkan. Kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dapat berjalan beriring, terhubung—antara produk endemik yang dihasilkan suatu wilayah saling berpilin dengan barang-barang yang diperjual-belikan di sebuah pasar. Tak melulu mendidik masyarakat menjadi konsumen tulen. Posisi seseorang sebagai produsen dan konsumen dapat bertukar letak. Sebab situasi itu, minimarket tidak akan pernah cocok untuk suatu wilayah yang sebagian besar masyarakatnya bukan merupakan orang-orang bergaji reguler dengan besaran yang tetap dan pasti.

Sayangnya, kenyataan seringkali berjalan tak linear, sebab masyarakat yang sukar ditebak dan tak jarang menerapkan gaya hidup dengan nalar yang sebenarnya tak logis. Belum genap 4 tahun dari kelahiran minimarket pertama, di kampung saya telah berdiri dua minimarket baru: satu dari perusahaan yang sama, satu lagi dari perusahaan berbeda. Ada yang terasa mengenaskan tiap kali saya melintas di depan minimarket tersebut, atau ketika ibu saya yang cukup sering mengeluh sakit pinggangnya baru pulang dari pasar, atau ketika keponakan saya menangis dan ibunya merapalkan mantera rayuan serupa untuk menenangkannya. Tragis! Tapi tidak semua orang dapat merasakan hal yang sesungguhnya menyeramkan ini. Generasi terdidik sekali pun.

Untunglah, sejumlah kalangan muda—meskipun tak banyak—dengan kesadaran dan kekhawatiran yang sama, menggalakan gerakan “membeli di toko tetangga”. Sedikit banyak, toko-toko yang lahir secara organik di lingkungan hunian tertentu itu, akan kembali menguatkan pondasi keberadaan pasar rakyat. Tapi langkah swadaya ini tak bisa menyentuh semua kalangan, jangkauannya terbatas kepada generasi muda pra-rumah tangga, dan agaknya sukar bertahan lama karena pada saatnya akan terkendala dana atau beranjaknya para aktivis penggerak menuju fase kehidupan yang baru.

Saya kira, langkah preventif untuk menyelamatkan pasar rakyat dari ketergusurannya di hati masyarakat telah menjadi kebutuhan yang cukup mendesak. Pemerintah perlu, bahkan harus, turut turun tangan, mengingat: betapa cepat pertumbuhan minimarket (“sebagai sejenis kanker bagi kesehatan pasar rakyat”) di tingkat kecamatan. Belum lagi trend baru yang tak kalah cepat menjangkiti masyarakat: toko online. Percepatan tersebutlah yang menyediakan rasa urgensi bagi perlunya untuk segera mencetuskan hari pasar rakyat nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun