Mohon tunggu...
HALIM BAHRIZ
HALIM BAHRIZ Mohon Tunggu... -

www.awalpekan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kegunaan Agama bagi Para Pemilik Amarah

13 Juli 2016   20:15 Diperbarui: 14 Juli 2016   09:27 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

: Kisah pembasmian etnis dalam sebuah curahan yang panjang


“Aku malu. Ingin rasanya bersembunyi di kolong meja. Di kelas kami ada 50 siswa, 47 orang berasal dari suku Hutu. Aku begitu cemas dan malu. Itulah pertama-kalinya aku merasa malu menjadi orang Tutsi.”

Immaculée masih remaja saat monolog itu ia gumamkan dalam hati, di hari pertama, Oktober 1990. Di hari yang cerah itu, Pak Gahigi, seorang pengajar kewarganegaraan Lycée de Notre Dame d’Afrique (salah satu SMA terbaik di Rwanda) yang terlambat, tiba di kelas dan tampak panik; baru saja tersiar kabar bahwa serangan pemberontak Tutsi telah berhasil melewati perbatasan. Serentetan pertanyaan yang diocehkannya seraya mondar-mandir membuat suasana pagi menjadi gempar dan tertawan. Seakan-akan sedang ia sampaikan materi kewarganegaraan dalam ketelanjangannya dan basa-basi nasionalisme yang sesungguhnya terbelah, “[...] Apa maunya orang-orang Tutsi itu? Mengapa mereka menyerang kita?” umbarnya sepenuh amarah.

Serangan itu merupakan episode lanjutan dari drama dendam lama. Di masa lampau, sebuah monarki di bawah kepemimpinan seorang Tutsi mampu menciptakan harmoni selama berabad-abad sebelum kemudian kolonial Belgia datang dan mempraktekkan sisi iblis dari politik. Kolonial menyokong para pembesar Tutsi yang merupakan etnis minoritas dengan menjadikan mereka jajaran aristokrat, atau klas penguasa. Belgialah yang pertama kali memperkenalkan kartu identitas etnis di Rwanda.

Namun saat orang-orang Tutsi mulai menuntut kemerdekaan, kolonial Belgia segera berpaling. Tahun 1959, mereka berbalik mendukung orang-orang Hutu mengadakan revolusi berdarah yang akhirnya sanggup menumbangkan monarki Tutsi. Kaum Tutsi tersingkir, sebagian mengungsi ke Uganda dan menetap di sana. 41 tahun kemudian mereka kembali; menyerang dari arah perbatasan demi merebut ibu kota Kigali, demi memiliki lagi tanah-airnya yang telah dirampas—setelah kudeta yang gagal di tahun 1973, ketika Immaculée yang baru berusia 3 tahun, digendong Sang Ibu dalam derap terbirit-birit menjauhi malam yang telah dipenuhi kobaran api.

Immaculée adalah seorang putri keluarga Katolik Tutsi yang taat dan amat dihormati di kampung Mataba, provinsi Kibuye. Masa kecilnya tidak mewarisi lanskap gersang yang seringkali kita identikan sebagai keseluruhan Afrika. Rumah Immaculée berdiri di atas bukit, di dekat danau Kivu. Bersama empat saudaranya, perempuan yang kelak bekerja untuk PBB itu, tumbuh dalam lingkungan damai dan hijau. Sang Ibu (Marie Rose Kankindi), pun Sang Ayah (Leonard Ukulikiyinkindi), sama berprofesi sebagai guru. Mereka tidak pernah memperkenalkan etnisitas dan sejarah kelam Rwanda pada anak-anaknya. Sampai suatu hari, Immaculée kecil terusir dari kelas sebab tidak bisa menjawab sebuah pertanyaan bersuara keras dari gurunya, Buhoro. Ia berlari menuju halaman sekolah, lantas menangis di balik semak. Ketika makan malam, Immaculée menggugat Sang Ayah. Tak ada jawaban, kecuali garpu yang seketika diletakkan dan adegan makan yang tiba-tiba terhenti, “Besok aku akan bicara dengan Buhoro,” ujar Ayahnya, dengan amarah nampak lugas. “Tapi Ayah, apa sukuku?” kejar Immaculée, dan percakapan berakhir tanpa kejelasan.

Diskriminasi memang dilembagakan otoritas pemerintah sebagai reaksi “oportunis-cauvinis” paska kudeta 1973 melalui program terkenal: “keseimbangan etnis”—yang mencakup keseluruhan lini kehidupan rakyak Rwanda; dari sekolah, pembagian jatah pekerjaan, sampai pelayanan publik. Namun tujuan sesungguhnya dari rencana picik itu adalah menjaga sirkulasi kuasa politik tetap dalam kendali orang-orang Hutu dan tak terlepas pada tangan-tangan Tutsi. Meskipun “keseimbangan etnis” tersebut terus didengungkan sebagai keadilan yang mencerminkan susunan etnikal Rwanda; Tutsi 14%, Hutu 85%, dan Twa 1%—dalam kenyataannya tak demikian. Immacullée yang cerdas dan lulus dengan nilai terbaik kedua (pula temannya yang meraih nilai terbaik pertama) di sekolahnya, tak diterima di SMA Negeri karena keduanya seorang Tutsi; dan ia terpaksa meneruskan jenjang pendidikan ke sekolah swasta yang mahal dengan fasilitasnya yang jelek. Di tahun terakhir SMA-nya, ketika dalam sebuah tes beasiswa kecerdasan Immaculée tak terelakan lagi, barulah ia diterima di sekolah negeri.

Bermula di tahun tersebutlah perang saudara pecah di mana-mana dan semakin parah pada tahun-tahun berikutnya. Pemberontak RPF(Front Patriotik Rwanda) yang kian mendekati Kigali kian menguatkan inisiatif pemerintah yang secara aktif melakukan mobilisasi massa besar-besaran; para kaum muda nan pengangguran—dengan iming-iming uang, alkohol, dan narkotik gratis, dikelola melalui gerakan pemusnahan etnis. Interawhamwe (nama gerakan itu) dengan segera meraih reputasi suram nan populer. Tugas mereka sangatlah gampang dan pasti: membunuh orang-orang Tutsi. Di jalan-jalan mereka meraja-lela, dengan gelimang aksesoris pisau besar, granat, atau amunisi lain sumbangan pemerintah; menyulap jalan-jalan Rwanda menjadi catwalk panjang, tempat bagi kebrutalan unjuk gigi.

Terlahir sebagai seorang Tutsi dan perempuan adalah kesialan berganda. Immaculée bersama Clementine, temannya sesama Tutsi, bahkan telah memutuskan suatu teknik penyelamatan diri jika mereka benar-benar terdesak: menyetrumkan tubuh pada kotak listrik bertegangan 1.500 volt yang tersimpan dalam bangunan tertutup di sekolahnya. Mereka sebenarnya cuma menghindari pemerkosaan massal dan menolak memuaskan aksi sadisme para Interawhamwe melalui sajian kematian yang bertele-tele. “Sungguh aneh berbicara tentang akhir hidup saat kami baru berusia 19 tahun,” tulis Immaculée, tapi ketika itu ia mengangguk setuju pada ajakan yang direncanakan Clementine.

Kehidupan asrama sekolah tidaklah sanggup membendung propaganda radio-radio yang dengan gegap-gempita menyulut amok-kebencian. Mereka mengatakan bahwa pemberontak Tutsi tinggal dalam hutan-hutan, berkawan dengan monyet, dan karena perangainya yang jahat, telah tumbuh tanduk di kepalanya; kemudian menutup siaran dengan menyebut orang-orang Tutsi sebagai kecoak yang harus dibasmi atau orang-orang Hutulah yang akan lebih dulu habis terbunuh. Banyak jalin persahabatan yang rusak hanya karena asal-usul kesukuan; dan berubah menjadi manifestasi permusuhan yang sulit dipercaya bisa juga menjadi kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun