Mohon tunggu...
Halimah Banani
Halimah Banani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Joni

27 Januari 2019   03:01 Diperbarui: 27 Januari 2019   03:32 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

AKU melepas kopiah dan menggunakannya untuk berkipas-kipas sebab di luar cuaca sangat panas, membujurkan kaki dan bersandar ke tembok. Tak terasa bulan puasa sudah hampir sampai di penghujung saja. Membuatku kembali mengingat riuh saat kita masih anak-anak, Mur.

Kau ingat, Joni, anak tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku. Dia anak berambut ikal yang juga ikut mengaji di surau Kiai Rozaq. Ah, sayangnya dia hanya dua tahun tinggal di kampung ini, tapi meski begitu tak bisa kulupa betapa asyiknya anak itu.

Dia, Joni, anak yang sering emaknya teriakan setiap kali nangkring di atas pohon jambu Pak Sobar, juragan empang yang meninggal setahun lalu, sama sepertimu, Mur. Kau tentu tahu 'kan, kenapa Joni ada di atas pohon jambu itu? Ya, kita semua tahu kalau Joni malas sekali pergi ke surau dan mengaji. Dia lebih suka menggoda anjing di ujung jalan yang lehernya terantai.

Mengingat semua itu saja aku sudah geleng-geleng kepala. Sungguh, tak ada habisnya jika aku harus menceritakan tentangnya yang pandai sekali buat masalah. Mungkin emaknya juga hanya bisa beristigfar menghadapi Joni yang berbeda jauh dengan Sekar, adiknya yang sering dikepang dua itu.

Bulan puasa kedua saat dia tinggal di kampung ini, untuk pertama kalinya kita berteman dengannya. Emakku tentu selalu melarangku bermain dengan Joni, takut aku ketular bandel katanya. Dan benar saja, kita semua tentu merasakan masa-masa yang berbeda di bulan puasa tahun itu, 'kan?

Saat itu, saat Kiai Rozaq telat datang ke surau, Joni yang duduk bersila mungkin panas bokongnya karena harus diam menunggu Pak Kiai datang. Dia mulai mengangkat salah satu kakinya, pun sarungnya yang tidak terpasang rapi dilepas dan diselempangkan ke pundak kiri.

Haha ... aku hampir tertawa terbahak-bahak mengingat bagaimana ekspresi kita siang itu. Bagaimana tidak, Joni wajahnya sudah pucat dan lemas seperti hampir mati menunggu azan asar yang masih satu jam lagi. Dia bangkit selepas menyelempangkan sarungnya, beranjak ke sumur, mau cuci muka sepertinya biar tidak mengantuk.

Aku mengikutinya bersamamu, cuaca yang masih sangat panas meski sudah jam 2 siang rupanya membuat wajahku begitu berminyak, sehingga kita memutuskan untuk ke sumur bersama-sama tak lama setelah Joni. Dan terkejutlah aku mendapati anak berambut ikal itu sedang berwudu. Astagfirullah ... berbohong sudah aku mengatakan seperti itu. Tidak! Joni hanya berkumur-kumur, membasuh muka, dan kaki. Dia bahkan tidak membuang airnya saat berkumur melainkan menelannya.

"Kau tidak puasa, Jon?" tanyamu kala itu. Kau tidak mengerti akan Joni, begitu pun aku.

Joni berdehem, berdiri tegap dengan dada yang sengaja dibusungkannya, berlagak seperti orang penting yang kadang kita lihat di rumah Pak RT. Ah, aku lupa, sama seperti mereka, Joni juga berasal dari kota, tentu saja dia pasti punya sudut pandang berbeda dengan kita yang sejak orok selalu di desa. Apalagi ayah Joni sering pulang pergi dengan berkendara mobil dan berpakaian rapi, juga memakai kacamata hitam, membuatku terus berandai-andai ingin seperti beliau kalau sudah besar nanti.

"Aku puasa," jawab Joni lantang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun