Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Tuhan dalam Falsafah Hukum, Budaya, dan Kemanusiaan

30 November 2021   15:56 Diperbarui: 30 November 2021   15:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di thread untuk beberapa platform media sosial di waktu-waktu sebelumnya saya mengangkat isu tentang konsep pernikahan. Selain di FB, konsep tersebut saya share juga di WA. Banyak inbox dan WA private yang masuk, terutama dari kalangan yang memegang teguh term agama, walau saya lihat beberapa juga sebenarnya tidak menjalankan term agamanya sendiri dengan kaffah. Tapi begitulah cara beragama kita, mudah tersulut begitu ada perbedaan dari apa yang kebanyakan kita yakini.

Sebenarnya, apapun di dunia ini jika kita mengikuti alurnya, sejak sejarah awal manusia konsep itu selalu berubah atau berevolusi mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Jadi ketika ada perubahan konsep dan pemikiran, jangan terkejut lalu paranoid seolah iman kita akan mengalami turbulensi karenanya.

Jika kita mendalami, yang namanya konsep itu jangankan tentang menikah; beberapa hukum, bahkan konsep tentang Tuhan saja sudah seringkali berubah sejak sejarah awal kita. Dari yang awalnya percaya kepada benda-benda, lalu kepada dewa-dewa/Tuhan yang banyak, dan terkini hanya kepada satu Tuhan. Artinya, kita tidak bisa memungkiri konsep umum tentang Tuhan itu memang pernah berubah.

Bagaimana dengan konsep hukum dalam agama? Sama. Beberapa hukum dalam agama itu dimulai sejak 2000 tahun yang lalu, sebagian juga ada yang berubah. Karena Berdasarkan sejarah arkeologi dan penanggalan karbon, revolusi kognitif/pengetahuan itu malah sudah terjadi kok pada 70.000 tahun yang lalu. Artinya hukum dan konsep itu sudah ada jauh ketika 2000 tahun sebelum agama samawi muncul. Ada yang bisa kita ikuti, ada yang tidak, dan ada juga yang ditambahkan baru karena mengikuti perkembangan zaman.

Dulu, tidak ada keharaman rokok. Karena zaman Nabi rokok memang belum ada, maka aturan pelarangannya juga tidak ada. Karena kaidah hukum agama menurut Tarjih Muhammadiyah mengikuti hukum illat atau sebab kerusakan (tidak ada illat, tidak ada hukum). Maka aturan pelarangan yang dulu tidak ada menjadi ada karena alasan mafsadat tadi. Jadi, Tarjih itu betul-betul asyik menurut saya. Fatwanya; rokok itu hukumnya haram. Tapi hukum tatto malahan boleh/mubah. Dengan catatan illat tadi.

Ketika ada fatwa keharaman bitcoin dan mata uang cryptocurrency oleh MUI, saya mencoba menoleh kebelakang. Dulu setahu saya bank itu juga diharamkan karena ribanya. Begitu terjadi disrupsi karena dunia semua menggunakan bank sebagai tempat transaksi, akhirnya kita membolehkan. Lama berjalan, kemudian baru muncul bank dengan embel-embel syari'ah sebagai salah satu strategi mendapatkan dana umat. 

Padahal tata cara transaksi dan tata kelola perbankannya sama saja dengan yang konvensional, hanya nama konsepnya saja yang berbeda. Prediksi saya, ketika mata uang crypto mewabah tidak bisa dihindari karena transaksi dunia semua sudah menggunakan mata uang ini, saya yakin fatwa ini kedepan akan berubah. Atau bisa saja muncul blockchain syari'ah, haha.  

Apa contoh yang tidak bisa kita pakai saat ini, tapi zaman dulu boleh dilakukan? Salah satunya adalah menggauli budak tanpa pernikahan, itu hukumnya halal. Bagaimana jika Anda melakukannya saat ini? Ya tidak boleh dari sisi kemanusiaan. Jika sifatnya pemaksaan Anda malah kena hukuman. 

Menikahi anak di bawah umur 18 tahun saja tidak bolehkan. Apakah definisi budak saat ini dan sekarang berbeda? Sama. Jika Anda misalkan mengambil salah satu anak tidak mampu untuk anda hidupi, ia bisa dikategorikan sebagai budak, namun namanya saja mungkin yang dihaluskan sebab saat ini budak tidak ada lagi.

Jika berkaca pada contoh-contoh sejarah manusia tentang konsep Tuhan di atas, dan hukum yang bisa berubah, kenapa sekedar urusan konsep budaya, kebiasaan atau bahkan perbedaan ijtihad yang beberapa ulama saja berbeda pendapat, kita harus berseteru dan berseberangan? Kenapa kita tidak berlapang dada misalnya; membebaskan orang lain dengan apa yang ia yakini dan menjalankannya, walaupun yang ia lakukan adalah antitesa atau berbeda dari yang kita atau orang kebanyakan lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun