Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Asia, China, dan Kiblat Penguasaan Dunia

16 Oktober 2021   11:58 Diperbarui: 17 Oktober 2021   09:54 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: Reuters/Tyrone SIU

Sejarah revolusi pertama manusia yang terkenal dengan revolusi kognitif 70 ribu tahun lalu, kemudian saintifik 500 tahun lalu. Berlanjut saat ini dan tengah mencapai puncak eksistensinya pada masa revolusi ke-4 teknologi informasi, yaitu berkembangnya teknologi kecerdasan buatan atau sering disebut dengan artificial intelligence (AI).

Tidak ada yang membayangkan sebelumnya jika masa depan Sapiens bergerak begitu jauh dan melesat baru di beberapa dekade terakhir ini saja. Tak ada satu pun menurut Harari, sekurang-kurangnya manusia-manusia itu sendiri, yang punya firasat keturunan mereka suatu hari kelak bisa terbang, berjalan di bulan atau menuju planet lain, membelah atom, menyibak kode genetik, menulis buku-buku sejarah, apalagi sampai mampu menciptakan salah satu puncak pengetahuan dengan artificial intelligence-nya.

Yang tak disangka, lompatan jauh dan tinggi ini berasal dari negara-negara di kawasan sekitar kita yaitu Asia. Salah satunya adalah China, selain Jepang dan Korsel. Bahkan ada analisis yang memetakan bahwa Vietnam dan Thailand juga akan menyusul setelahnya dibelakang India. Menurut analis lain, kemungkinan faktor eksistensialism ini juga yang membuat pergerakan di Laut China Selatan agak memanas, pasca ditariknya pasukan dari Afghanistan oleh Amerika karena ingin berfokus ke sana.

Apa sih yang menyebabkan negara-negara ini begitu cepat akselerasi penguasaan teknologinya? Terutama ketika mereka tidak hanya bergerak maju dalam proses produksi, tapi mulai mengarah kepada kecerdasan buatan? Sementara kita, yang satu kawasan dengan mereka kelihatan stuck bahkan cenderung menurun penguasaan teknologinya.

Selain ruang untuk penguasaan teknologi berbasis santifik itu menyempit dan cenderung tidak diberikan, tampaknya salah satu faktornya karena sebagian kita yang anti sains. Anti sains dalam hal ini yaitu menganggap sains adalah media demestifikasi beberapa hal yang selama ini menjadi 'keyakinan' kita. 

Terkadang 'keduanya' begitu masif di branding berhadapan dan bertentangan. Kenapa? Karena metode ilmiah seringkali 'lancang' menyentuh ranah yang menurut sains adalah konsepsi tentang mitologi yang tidak ada. Tapi sisi satunya menjaga ada batasan-batasan yang tidak boleh disentuh atau dikritisi oleh sains.

Dari sinilah yang menurut kita tadi, sains memang ada diakui manfaatnya secara nyata. Tapi begitu sains membuka nalar kita dengan temuannya yang menyerempet keyakinan, sains berubah jadi momok menakutkan. Akhirnya generasi ini lebih condong kita dorong untuk belajar ilmu 'hapalan' di sekolah umum atau khusus dibanding untuk belajar mendalami sains.

Padahal, Indonesia termasuk pangsa pasar terbesar produk sains yang sangat konsumtif, namun sebatas hanya penikmat dan penonton di pinggiran bagi melesatnya kemajuan teknologi negara lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun