Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Awam, dan Gelora Cinta dalam Populisme Agama

27 Juli 2021   14:46 Diperbarui: 5 September 2021   13:38 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jumlah muslim di Indonesia itu mulai pilgub DKI 2012, pilpres 2014, pilgub DKI 2017, dan pilpres 2019 hingga saat ini berkurang jauh dan merosot sangat tajam. Pangkal utamanya, karena pendukung Jokowi/Ahok. Kok merosot? Ya karena mereka sudah dikafirkan oleh sesama muslim lain gara-gara mendukung kedua orang tadi. De jure artinya keluar dari Islam. Benarkah seperti itu? Sebenarnya tidak.

Sebagian karena begitu banyak dari kita yang mengaku beragama, menciptakan wajah Islam seolah-olah menakutkan, kaku, mengancam, keras, senggol bacok, tekstual, dan membenci realitas keberagaman. Tidaklah aneh jika kemudian muncul pertanyaan di mana sisi menariknya Islam jika yang diperlihatkan adalah wajah-wajah seram seolah selalu memantik permusuhan.

Jika kita mau mendinginkan hati sejenak, dalam Al-Qur'an sebenarnya ada beberapa ayat yang anjuran-Nya tidak selalu dilaksanakan oleh Nabi karena situasinya tidak tepat, yaitu pada Surah Al Baqarah 191-194, ketika Allah memerintahkan membunuh dan memerangi orang kafir jika ditemui dan mengusir mereka yang telah mengusir (kamu). 

Tapi jika dibaca secara keseluruhan surah tersebut hanya digunakan ketika perang dan bukan dalam keadaan damai. Jadi sebenarnya Nabi-pun dalam beberapa surah dan ayat lain malah menghormati dan melindungi non muslim jika dalam keadaan damai. 

Dan sebaliknya negara non muslim seperti Raja Negus (Najasyi) di Habasyah (Ethiopia sekarang) pun malah bisa menjadi tempat perlindungan yang referensentatif bagi Nabi dan pasukannya ketika mengungsi menghindari perang di Mekkah pada tahun ketujuh sebelum hijriyah. Inilah hijrah pertama kaum muslimin sebelum peristiwa hijrah ke Madinah.

Sejak sepeninggalan Nabi memang terjadi banyak sekali ambiguitas yang dilakukan kaum muslimin dalam menafsirkan ayat-ayat perang. Termasuk bagaimana membalikkan kebanggaan dan militansi luar biasa ketika misalkan ada mualaf yang masuk Islam dua tiga orang. Mereka di branding dan diagungkan sedemikian rupa. Lalu disambut sorak sorai dan gegap gempita ketika mereka menjelekkan agama mereka terdahulu. 

Tidak pernahkah kita melakukan penelitian sederhana saja, apakah militansi dan ghirah tersebut bukan populisme yang sebenarnya bertolak belakang dengan fakta dan nilai Islam sesungguhnya? Coba review berapa banyak misalnya pemakai jilbab yang menggunakan jilbabnya SEKEDAR karena latah, ikut-ikutan lingkungan, tidak enak sama orang tua dan keluarga, tapi bukan murni karena perintah syari'at? 

Tidakkah kita mencoba tahu apalagi sekedar menghitung, berapa juta muslim dengan kolom ISLAM di KTP mereka, tetap mengaku Islam tapi berubah jadi agnostik dan atheis hanya karena kita terlalu pongah mem-branding surga sebagai tanah kavlingan yang pasti milik kita dan memaksa orang lain harus satu frame keyakinannya dengan kita? 

Adakah setidaknya sedikit saja keinginan untuk mengubah pola dan metode publikasi agar wajah Islam kita itu bisa menjadi lebih ramah, sejuk, mendamaikan, dan lentur, sehingga menjadi rujukan mengatasi berbagai problem kehidupan yang sebagian kini sudah diambil alih oleh sains dan ilmu pengetahuan? 

Lebih paradoks misalnya, ketika awam yang tidak seincipun paham proses pengambilan  takhrij atau istinbat hadits ikut latah bersuara sengau mengkritisi seseorang melakukan tindakan masuk tempat ibadah agama lain yang dalam term-nya sendiri imam dan ulama-pun berbeda pendapat soal itu. Si awam ini lupa, bahwa ada Surah di Al-An'am 107 yang mengatakan sama sekali tidak ada perintah bagi kita untuk menjadi pengawas dan pemelihara agama. Yang kita pelihara adalah amalan kita sendiri, agar kita tidak mudah hipertensi.

Atau yang terkini, ketika presiden yang dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan yang melindungi semua agama mengatakan tentang jenis makanan yang memang biasa dibolehkan dimakan oleh beberapa pemeluk agama lain untuk dipesan jika tidak bisa mudik, lalu langsung disambar seolah-olah presiden menganjurkan umat Islam untuk makan makanan tersebut. Padahal yang mudik, libur, dan merayakan bukan hanya umat Islam saja. Pada hari besar tersebut bertepatan juga dengan hari besar agama lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun