Mohon tunggu...
Laode Halaidin
Laode Halaidin Mohon Tunggu... BLOGGER -

Menulislah, karena itulah keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perampasan Tanah: Fakta Lain Konflik Rohingya, Indonesia?

13 Oktober 2017   09:55 Diperbarui: 14 Oktober 2017   22:06 7262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kumparan.com

DERASNYA informasi soal rohingya beberapa bulan terkahir ini, membuat banyak masyarakat dunia bereaksi. Konflik Rohingya saat itu tengah menjadi sorotan dunia internaisonal, termasuk Indonesia. Banyak dunia mendesak Indonesia, untuk mengambil peran dalam menyelesaikan konflik Rohingya. Sementara di Indonesia sendiri, banyak masyarakat yang mencerca pemerintah karena dianggap tak mampu menyelesaikan permasalahan rohingya yang mayoritas beragama muslim itu. Selain itu, ada juga masyarakat yang mendesak agar pemerintah mengusir Duta Besar Myanmar di Jakarta.

Desakan-desakan itu membuat pemerintah mengambil langka diplomatik, untuk turun tangan menyelesaikan konflik rohingya. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, langsung bertolak di Myanmar, mencoba berdialog dengan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi. Pada pertemuan itu, menteri Retno, menekankan 4+1 dalam menyelesaikan konflik di Rakhine.

Usulan 4+1 itu yakni (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan, (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan, (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Rakhine tanpa memandang suku dan agama, (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan. Sementara elemen +1-nya yaitu terkait dengan pentingnya pelaksanaan rekomendasi laporan Komisi Penasehat untuk Rakhine yang dipimpin oleh Kofi Annan. Langkah diplomatik ini, mendapat penghargaan yang luar biasa dari pihak PBB dan di sejumlah negara.

Konflik yang terjadi di negara bagian Rakhine bagi sebagian media arus utama dipandang sebagai konflik agama atau etnis. Mungkin pemerintah Indonesia juga memahaminya demikian. Ada pembatasan bahwa konflik tersebut hanya sebagai ciri dan penganiayaan terhadap warga Rohingya, yang beragama mayoritas Islam. Human Rights Watch (HRW) mengambarkan kekerasan terhadap warga Rohingya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang berujung pada pembersihan etnis tertentu atau disebut sebagai genosida.

Namun, benarkah kekerasan Rohingya bagian dari konflik agama atau etnis? Sebuah tulisan di The Guardian,yang ditulis Saskia Sassen dengan judul Is Rohingya persecution caused by business interest rather than religion? menemukan fakta lain. Seperti yang dimuat di Koran Sulindo, profesor di sosiologi di Universitas Columbia itu berpendapat bahwa agama dan etnisitas boleh jadi hanya bagian dari apa yang terjadi saat ini. Saskia Sassen menulis, dalam dua dekade terakhir telah terjadi peningkatan akuisisi perusahaan secara besar-besaran di seluruh dunia baik pertambangan, kayu, pertanian maupun air.

Perubahan Undang-undang tentang tanah yang terjadi di Myanmar membuka jalan atas masifnya perampasan tanah yang ada di pedesaan. Perusahaan diberikan keistimewaan menguasai tanah dalam skala besar. Sejak 1990-an, militer Myanmar telah menguasai tanah-tanah secara luas tanpa ganti rugi yang jelas. Dibawah tekanan militer, perampasan tanah semakin masif terjadi, yang dilakukan dengan todongan senjata. Kaum tani kemudian memprotes atas perampasan tanah tersebut.

Laporan Departemen Pertanian Myanmar semakin menguatkan anggapan itu. Sejak tahun 2010, sekitar 216 perusahaan menguasai sekitar 1,75 juta hektar lahan, 708.200 hektar merupakan lahan dalam bentuk konsesi negara, tulis Brian. Tanah-tanah itu selain diambil militer untuk kamp dan akses tentara, juga diambil untuk proyek komersial yang dijalankan dan berhubungan kepentingan militer. Hal tersebut menyebabkan adanya penyempitan lahan yang dikuasai oleh kaum tani yang kemudian memicu perlawanan.

Sementara itu, badan pemerintah, terutama pihak militer menangkapi kaum tani yang dianggap melawan, menindaknya dengan kekerasan. Aktivis petani ditangkapi dan dipenjarakan. Saat konflik Rohingya pecah pada tahun 2012, lahan yang dipergunakan untuk mega-proyek meningkat 170 persen antara 2010 sampai dengan tahun 2013. Sassen beranggapan dalam tulisannya bahwa "berdasarkan itu, kekerasan yang meningkat tajam terhadap suku Rohingya dan juga kelompok minoritas lainnya mungkin saja disebebkan kepentingan ekonomi militer, bukan masalah agama dan etnisitas."

Tulisan Saskia Sassen itu, mendapat dukungan dari Brian McCartan, yang ditulis di Cetri.bedengan tulisan, Myanmar: Land Grabbing As Big Business. Bagi Brian, perubahan undang-undang yang tidak memadai telah membuka daerah di Myanmar dengan merajalela dirampas oleh pengusaha yang tidak bermoral dan terhubung dengan baik yang mengantisipasi ledakan investasi dan properti. Jika tidak diantisipasi, hal tersebut berpotensi dapat merongrong proses reformasi negara secara luas dan menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Saskia Sassen dan Brian McCartan telah mengulik fakta lain dari kekerasan Rohingya. Mereka menemukan bahwa perampasan tanah yang dilakukan oleh militer merupakan fakta, bagian dari kekerasan, yang mungkin sebagian orang mengabaikannya. Perebutan lahan telah menjadi pemicu dari konflik tersebut. "Dengan harapan baru untuk kebangkitan ekonomi dan kenaikan harga properti yang dipicu oleh pemerintahan reformis Thein Sein, perebutan lahan terjadi dibanyak wilayah dan juga meningkat diwilayah tengah dan negara bagian Rakhine. Perebutan lahan ini memaksa petani meninggalkan tanah mereka untuk kepentingan agribisnis komersial, proyek infrastruktur, pengembangan pariwisata, fasilitas industri dan jaringan pipa gas," tulis Brian.

Lembaga Hak Asasi Manusia sejak tahun 1990 seperti Karen Human Rights Group (KHRG), the Shan Human Rights Foundation (SHRF), the Human Rights Foundation of Monland (HURFOM), dan Earth Rights International (ERI), telah banyak mendokumentasikan penyitaan-penyitaan tanah tersebut. Di negara bagian Rakhine perampasan tanah meningkat dengan pesat. Tanah-tanah tersebut digunakan untuk kepentingan proyek, yang didukung oleh pihak militer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun