Pencalonan seorang presiden tak lebih sulit dari algoritma pembutan sebuah iklan: mengenyangkan imajinasi para penontonnya.
Pada hakikatnya, membuat iklan untuk mempromosikan suatu barang jauh lebih sulit dibanding membuat strategi dan janji untuk mempromosikan capres-cawapres tertentu. Secara matematis, kita dapat membuat gambaran bahwa saingan suatu produk itu ribuan jumlahnya dan sedangkan saingan untuk meraih kursi kepresidenan--sepanjang sejarah yang ada--tak lebih dari dua.
Kampanye, seperti halnya iklan, adalah sebuah hiperbola. Bahkan dapat pula dikatakan sebagai kebohongan.
Mengapa pembohong menarik bagi banyak orang? Bukan karena kebohongannya atau kepandaiannya berbohong, melainkan karena si pembohong menjawab harapan-harapan dan logika yang dimiliki korban kebohongannya.
Lalu, bagaimana jika seorang "pembohong" itu gagal memuaskan ekspektasi korban kebohongannya?Â
Berikan jawabanmu di kolom komentar