Mohon tunggu...
Hakim Esbe Mulyono
Hakim Esbe Mulyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Tak peduli seberapa cepat anda melangkah; jika anda salah arah, anda tetap harus kembali ke kilometer nol. Tak peduli seberapa lambat anda melangkah; jika arah anda benar, anda akan tetap sampai di tujuan." (HSBM)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semoga Indonesia Tidak Seperti Suriah

10 April 2017   20:18 Diperbarui: 12 April 2017   22:30 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apakah Indonesia bisa menjadi Suriah? Jawabannya tidak. Indonesia telah melampaui apa yang kini dialami oleh Suriah. Kenapa begitu? Karena Soeharto bersedia lengser; sementara Assad tidak. Namun keduanya sama-sama tokoh kontroversial. Keduanya adalah magnet yang menarik pro dan kontra, sebuah umpan sempurna untuk memancing kerusuhan, perang saudara, atau bahkan menarik perang yang melibatkan kekuatan internasional. Soeharto mungkin tahu bahwa bagaimanapun ia akan jatuh, entah dengan cara halus ataupun kasar. Maka ia memilih untuk lengser, dan menghindari apapun yang mungkin terjadi di negerinya, yang ujung-ujungnya membuat ia jatuh juga. Assad menempuh jalan lain. Ia bertahan dan menempuh jalan perang.

Apapun pilihannya, semua tidak akan bagus buat Suriah, sebab jika ia mundur dari jabatannya, maka penggantinya belum tentu akan membebaskan Suriah dari apa yang mungkin ditakutkan Assad akan terjadi di sana. Dan jalan yang ditempuhnya ini ada konsekuensinya. Ia dan warga negaranya kini harus membayar mahal dengan perang saudara dan bahkan belakangan melibatkan kekuatan internasional. Nasi sudah menjadi bubur. Sudah terlanjur dan tak mungkin lagi untuk mundur. Ia maju dengan segala konsekuensi buruknya.

Sebagai pemerintahan yang sah, dan selama tidak ada kudeta militer terhadapnya, wajarlah ia didukung oleh tentaranya. Para tentara ini kemudian harus berhadapan dengan kekuatan yang menginginkan kejatuhannya, entah berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Suriah menjadi arena adu kepentingan.

Dan di tengah kekacauan ini, ISIS muncul dengan kepentingan tersendiri. ISIS bukan datang untuk mendamaikan, justru menjadi bagian dari masalah baru yang harus dihadapi Suriah. Siapakah pihak yang paling senang melihat semua kekacauan yang dialami Suriah ini? Mereka yang membela Assad ataukah mereka yang membela ISIS?

Perang saudara di Suriah hanyalah api di permukaan. Sekam yang menjadi bara yang sesungguhnya adalah berbagai kepentingan yang ingin menguasai Suriah. Karena ada sesuatu yang diperebutkan di sana.

Tentu saja, sebagaimana Soeharto, Assad memang ada salahnya, namun tidak bisa semua kesalahan bisa ditumpahkan kepadanya. Bagaimana dengan berbagai kepentingan terhadap sumber daya alam pada negeri ini? Itu juga perlu dipertimbangkan. Seandainya ia mau, kini sudah terlambat bagi Assad untuk mundur. Ia telah kehilangan momen untuk itu. Dan untuk situasi yang runyam seperti sekarang, betapapun kontroversialnya ia sebagai tokoh sebagaimana Soeharto, kini ia berada pada posisi sedang mempertahankan negerinya dari kekuatan asing yang ingin menguasai negeri Syam.

Assad memang tidak sempurna, namun apapun masa lalunya, faktanya kini ia berada dalam posisi mempertahankan negerinya. Mungkin ia akan mengalami apa yang sudah dialami oleh Saddam Husein dan Muammar Qaddafi. Namun bisa juga tidak. Sebab tidak semua kekuatan internasional kontra dengannya. Itulah kenapa perang Suriah tidak sesederhana yang dibayangkan. Semua punya kepentingan; Assad punya kepentingan, negara-negara yang pro punya kepentingan, negara-negara yang kontra punya kepentingan, dan ISIS pun punya kepentingan. Kecuali warga sipil yang menjadi korban, semua pihak yang penuh kepentingan itu menjadikan Suriah sebagai arena perang kepentingan. Karena melibatkan banyak kepentingan; di titik ini, perang Suriah bisa menjadi pemicu perang yang lebih besar lagi.

***

Sebagai pentup, kembali ke awal pertanyaan apakah Indonesia bisa menjadi Suriah? Jawaban jujur yang sebenarnya adalah mungkin. Selama pemicu perpecahan masih ada di dalam negeri, maka kemungkinan itu masih terbuka. Pemicu perpecahan bukanlah pelaku perpecahan. Itu dua hal yang berbeda. Pemicu perpecahan itu bisa jadi adalah tokoh kontroversial yang menjadi magnet yang menarik pro dan kontra. Jika pemicu ini sengaja tetap dipelihara, maka kemungkinan Indonesia mengalami nasib seperti Suriah mungkin-mungkin saja. Namun kita berdoa, selama bisa dicegah, semoga hal itu tidak terjadi. Semoga Indonesia tidak seperti Suriah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun