Mohon tunggu...
Hakim Al-Mahdi
Hakim Al-Mahdi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa S-1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pembunuhan Akal Sehat Kaum Intelektual oleh Para Petinggi Organisasi Intern Kampus (AO)

22 November 2014   03:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:10 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasal 28 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Indonesia, adalah negara yang penuh dengan keberagaman. Negeri terelok di mata dunia, yang kerap membuat penduduk dunia terpesona akan keindahan alamnya. Ibarat dunia ini alam semesta, wajah kenampakan alam di Indonesia adalah miniatur bumi. Bagaimana tidak? Dunia punya Maldives, Indonesia punya Kepulauan Riau. Dunia punya Hawaii, Indonesia punya Seminyak. Dunia punya Galapagos, Indonesia punya juga di Jawa Timur. Dunia punya hutan Amazon, Indonesia juga punya di Sumatera Utara. Dunia punya arsitektur bangunan Budapest, Indonesia juga punya di Semarang. Dunia punya pantai indah di Krabi-Thailand, Indonesia pun juga punya Raja Ampat di Papua. Sungguh luar biasa hebat bukan negara kita ini? Terdiri dari berbagai macam suku, budaya, adat istiadat, bahkan agama. Sehingga kita diajari untuk saling menghormati satu sama lain, toleransi antar umat beragama, dan lain sebagainya. Karena memang saking beragamnya negara ini, tak heran jika para founding father negara ini beserta para pemuda waktu itu, merumuskan semboyan ‘Bhineeka Tunggal Ika’.

Namun, dewasa ini, kehidupan saling menghormati satu sama lain, kebebasan untuk berserikat, berpendapat dan lain sebagainya, tampaknya mulai semakin bergeser sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, seiring dengan kecanggihan dan kemajuan teknologi. Bahkan, permasalahan ini malah terjadi di tubuh organisasi para pemuda khususnya mahasiswa, yang dahulu dianggap maha-nya para siswa, serta ditinggikan derajatnya oleh masyarakat di sekitarnya karena status yang disandangnya, sekarang tidak lagi sesuai dengan apa yang dielu-elukan kepada mereka seperti pada waktu itu.

Kampus tercinta kita bersama, dengan nama besarnya Universitas Airlangga, tak jarang para mahasiswanya juga turut serta mewarnai sejarah perjuangan bangsa ini untuk menuntut kemerdekaan, khususnya kemerdekaan diri untuk beraktualisasi dan berpendapat di era orde baru. Namun, apa realita yang terjadi saat ini? Di dalam kampus, sepertinya ghiroh perjuangan bangsa khususnya para mahasiswa telah banyak berubah. Para pemegang amanah organisasi kemahasiswaan di kampus, para pejabat organisasi kemahasiswaan di kampus seakan-akan tertidur lelap dan tak mau dibangunkan. Dahulu, para mahasiswa yang mungkin pada waktu itu dimotori oleh mahasiswa organisasi pergerakan, ‘berontak’ keluar secara paksa dari zona nyaman. Karena intelektual dan kekritisan mereka semakin hari semakin tajam, mereka tahu, pemerintahan pada saat itu sedang ‘tidak beres’. Ada kejanggalan, keanehan, yang terjadi pada masa itu. Kemudian aksi-aksi yang mereka lakukan, akhirnya menjatuhkan tirani yang ada. Sehingga, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat dapat mereka dapatkan kembali.

Sekarang, memang sudah bukan waktunya lagi bersikap anarkis, namun berfikir kritis dan berontak untuk sebuah kebenaran tetap perlu. Siapa lagi garda terdepan sekaligus pertahanan terakhir bangsa ini, kalau bukan di tangan generasi muda, kaum intelektual, yakni para mahasiswa. Namun, sungguh ironis sekali realita organisasi kemahasiswaan di intra kampus kita, saat ini. Setiap mahasiswa yang memiliki background organisasi mahasiswa ekstra kampus, kebebasan nya untuk ikut berkumpul dan berserikat di organisasi intra, seakan-akan ‘dikebiri’ oleh para kandidat terpilih yang mengatakan dirinya mahasiswa netral yang memiliki independensi tinggi untuk membawa kampus ini ke arah yang lebih baik. Mereka menilai bahwa organisasi ekstra kampus terlalu politis dan sarat akan kepentingan golongan. Padahal, secara tidak langsung, sadar atau tidak, mereka, mahasiswa anti ormek, sama saja telah membentuk organisasi politik baru, dengan nama ‘netral’. Alih-alih bekerja secara profesional  agar organisasi intra kampus tidak melenceng dari track-nya, yang terjadi malah mereka hanya seperti sekumpulan mahasiswa ‘nurutan’ yang tak ada bedanya dengan event organizer. Mulai, dari BEM Universitas, BEM Fakultas, sampai Himaprodi, sama sekali tak ada yang berani mengkritisi ‘keanehan-keanehan’ para pejabat kampus. Mulut mereka seakan-akan ditutup dengan uang-uang kegiatan yang diberikan oleh para pejabat kampus. Standar keberhasilan kepengurusan mereka hanyalah terletak pada jalan tidaknya program kerja yang telah dicanangkan, sehingga fakultas maupun universitas yang mereka tempati bisa menjadi lebih besar dan menjadi lebih bergengsi. Para eksekutif mahasiswa lebih banyak disibukkan dengan kegiatan pencitraan nya dengan melakukan pengabdian desa di luar kampus, sehingga tingkat kekritisan untuk pejabat universitas berkurang, bahkan mau mengkritisi negara saja, telat. Bagaimana kita bisa berubah kalau hanya jabatan, kekuasaan, dan ‘bagus-bagus’ yang lagi-lagi akhirnya mucnul.

Bahkan, di salah satu jurusan, para calon ketua himpunannya dengan tegas mengkampanyekan gerakan anti ormek (AO), di depan para mahasiswa baru yang bisa dibilang masih lugu. Sehingga, pada akhirnya yang terjadi adalah ‘pembunuhan karakter’ terhadap organisasi ekstra kampus (ormek). Mereka ‘sok tahu’ tentang seluk beluk ormek, padahal mereka sama sekali belum pernah masuk didalamnya. Merasakan secara langsung apa yang ada di organisasi ekstra kampus tersebut. Hal ini kemudian berlanjut, dan menular kepada adik-adiknya. Ketika mendengar ormek, hanya stigma negatif-lah yang mucul, dengan justifikasi yang tidak berdasar, atau dapat dikatakan gagasan yang apriori.

Lantas, dengan kebebasan yang ‘dikebiri’ tadi, apakah kira-kira para mahasiswa ‘suci’ yang berada di intra kampus sadar bahwa mereka telah mengkhianati cita-cita bangsa ini, yang tersurat pada pasal 33 Undang-undang Dasar Republik Indonesia? Dengan menghalangi para kader ormek untuk bisa ikut beraktualisasi di intra kampus. Padahal banyak hal yang mungkin jauh lebih visioner, yang dimiliki oleh para kader organisasi mahasiswa eksternal. Tidak hanya konteks fakultas, universitas, tapi lebih dari itu, adalah konteks ke-Indonesiaan. Mungkin inilah yang dimaksud Rasulullah, bahwa akan datang suatu masa dimana orang-orang mulai bertopeng dengan kebenaran, untuk menghalang-halangi kebenaran.

Dekadensi moral, krisis kepemimpinan, sedang menghantui sebagian generasi muda saat ini. Khususnya ghiroh seorang organisatoris kemahasiswaan seakan sirna secara perlahan-lahan. Benar apa yang dikatakan oleh seorang bapak proklamator negara ini, bahwasanya perjuangan kita saat ini lebih berat, karena bukan lagi melawan penjajah, melainkan melawan bangsa sendiri. Semoga Allah menurunkan hidayah kepada kita semua. Wallahu a’lam bisshowab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun