Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Medsos dan Empati Generasi yang Telah Mati (Seri II)

15 April 2021   11:06 Diperbarui: 15 April 2021   11:15 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: klikmania.net

Kalau berharap kontrol medsos mainan mereka setiap hari saja, saya rasa bukanlah hal yang cukup untuk mengembalikan empati mereka. Artinya di media sosial seperti facebook dan instagram sudah disalahgunakan beberapa orang yang dengan sengaja menggiring anak-anak atau generasi baru untuk ikut ke dalam alih-alih syarat untuk menjadi yang terkenal. Dampaknya yah, karekater generasi yang terbentuk dengan apa yang mereka konsumsi setiap hari, ketelanjangan bagian tubuh dan bicara-bicara kotor pada sebuah komunikasi menentukan masa depan generasi baru nantinya memiliki rasa empati atau tidak, itu poinnya.

Menurut hemat saya, karakter positif dalam diri selain simpati adalah empati, sebagai langkah komunikasi sosial masyarakat yang satu dengan lainnya. Bagaimana seseorang bisa berbicara, berhubungan dengan orang lainnya dengan baik sedangkan dalam diri mereka tidak ada rasa empati sama sekali.

Saya, mulai dari aktivitas menulis membuat saya semakin masif lagi melakukan komunikasi dengan orang-orang. Sekedar menanyakan hal yang mereka tahu, kehidupan, pendapat, pendangan, masalah publik dan lainnya. Hal ini membuat saya semakin tahu bahwa dunia sekarang membutuhkan orang dengan empati yang tinggi, dan saya jarang menemukan hal itu di kehidupan nyata sekarang ini.

Saya tidak mengatakan bahwa kita harus empati sebab kebutuhan orang lain jauh lebih penting dari kebutuhan kita atau yang kita mau. Tidak, saya tidak ingin mengerdilkan pikiran saya hanya karena selah mendefenisikan sebuah ancaman untuk diri saya sendiri. Empati itu merupakan karakter yang haru tertanam semenjak kita lahir, secara naluriahnya begitu, diasah jika beranjak tumbuh menjadi anak-anak, remaja lalu dewasa. Bukankah empati adalah kebutuhan diri, kebutuhan manusia yang memiliki akal? Bagian ini bisa dijawab sendiri.

Melihat orang yang tidak pernah peduli dengan keadaan orang lain di saat sekarang ini bukan lagi hal baru, berbagi dengan orang lain menjadi ajang pamer kemampuan, ada orang-orang tidak bisa tahan emosi di jalanan, memaki orang lain, mencela dll dll masih kita temukan di sekita kita. Dan mungkin itu hal biasa, bagi saya adalah penyakit ketidak pedualian kita sudah akut.

Di banyak tempat, saya masih menemukan juga orang-orang sering marah-marah, bicaranya tidak sopan kepada orang tua, tuturnya sangat keras, membentak, paksa berpendapat meskipun itu salah dan banyak lagi masalah ini merupakan efek dari diterpanya perkembangan teknologi dan kurangnya didikan karakter bagi generasi baru. Kekerasan fisik dimana-mana, membuktikan bahwa kebaikan di lingkungan ini bukan lagi sebuah keharusan.

Dari semua perkara yang saya sebutkan terakhir ini, merupakan dampak parah dari kesalahan didikan generasi, pembiaran terhadap kesalahn metode belajar, pembiaran tumbuh dewasa dilingkungan yang salah yang kesemauannya berdampat pada matinya empati generasi baru. Itulah mengapa kita harus memiliki sikap empati terhadap orang lain dalam kehidupan sehari-hari. 

Seiring berjalannya waktu, rasa empati akan ada dan seseorang bisa merasakan manfaatnya terutama dalam kehidupan sosial. Percaya atau tidak, dikehidupan kita, akan ada masanya seseorang menolong orang lain, itu hal pasti.

Terimakasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun