Mohon tunggu...
Hairil Suriname
Hairil Suriname Mohon Tunggu... Lainnya - Institut Tinta Manuru

Bukan Penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Medsos dan Empati Generasi yang Telah Mati (Seri II)

15 April 2021   11:06 Diperbarui: 15 April 2021   11:15 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: klikmania.net

Mengutip Hurlock (1999: 118) dalam artikel yang mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Sedangkan Goleman (1997:102), mempertegas bahwa Faktor baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi proses empati menurut.

Senada dengan Harlock dan Goleman, Baron dan Byrne (2005: 111) dalm artikel Chandra Tri Saputra menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain

Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa rasa empatai akan mempengaruhi sisi psikologi dan sosiologi dalam kontek generasi baru. Hal empati, merupakan perkara yang krusial di negeri ini dan sudah banyak yang membicarakan itu dalam berbagai kursus, diskusi-diskusi, ceramah dll dll. 

Kesimpulannya adalah internet memiliki dampak yang postif dan negatif secara masif menjadi perhatian kita semua. Efek paling berat selain empati generasi telah menjadi mati, ada pembunuhan terjadi karena kenal dengan menggunakan media internet, ada juga kekerasan dan bullying dll menjadikan negara atau lembaga atau individu terkait kehilangan kontrolnya.

Kehilangan rasa empati generasi baru tidak dapat dikembalikan dengan cara apapun selain mendidik dengan merubah pola pikir mereka tanpa mengabaikan hubungan mereka dengan dunia internet. Hal ini sangat berisiko tentunya. Misalkan, para orang tua ingin mendidik anak-anak mereka dengan bebaskan mereka berinternet, atau main gedget seharian setelah belajar dll. Hal ini sepertinya tidak juga efekti melahirkan kembali empati mereka.

Kita tahu sendiri dampak internet ini seperti apa, kontrol kita sejauh mana jika anak-anak atau generasi baru menggunakan gedget sendiri. Kita sudah jelas tidak akan tahu apa lagi sebagao orang tua zaman milenial yang akses internet masih begitu lamban di bandingkan dengan emreka generasi baru. Banyak hal yang tidak kita ketahui, banyak hal yang mereka sembunyikan dari kita.

Apakah kita dapat mengontrol mereka menggunakan internet?

Hilangnya empati pada seseorang terutama genrasi baru, anak-anak merupakan tanggungjawab pendidiknya, terutama orang tua sebagai guru dirumah selain guru mereka secara formal di lembaga pendidikan mereka. Mengutip artikel merdeka.com - sebuah penelitian dari Vanderbilt, seperti dilansir dari Medical Xpress. Kathryn L. Humphreys menemukan bahwa ketika anak-anak tidak menerima respons empati dari pengasuh, mereka cenderung menunjukkan perasaan negataf secara beragam, termasuk meningkatnya respons psikologis pada stres, meningkatnya risiko masalah psikis terutama depresi, serta menurunnya empati pada orang lain

Pada artikel  suara.com - mengemukakan bahwa ada Studi terbaru menunjukkan rasa empati dalam diri seseorang semakin langka. Sebanyak 65 persen orang bersikap tidak peduli alias kehilangan empati. Dan Menurut sebuah studi baru dari Pennsylvania State University, bagi kebanyakan orang, menghabiskan waktu untuk berempati hanya menguras energi mental mereka.

Dari beberapa simpulan penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada sebagian orang merasa membuang waktu dan tenaga kalau berempati terhadap orang lain. Ketakutannya hal inilah yang terjadi pada generasi kita sekarang, semangat untuk membantu sudah tidak ada lagi dalam hati mereka. Banyak problem yang mengantar mereka ke ranah pergaulan yang negatif dari sisi penggunaan media sosial.

Kita lihat generasi sekarang rutin komunikasinya dengan menggunakan whatsaap, instagram dll. Beberapa aplikasi ini ternyata terakhir ini menjadi media komunikasi yang salah di gunakan dalam hal negatif. Video-video porno bisa di akses dengan wa melaui grup whatsaap, time line instagram menampilkan keterbukaan dada perempuan yang montok, binal dan nakal. Disini konteksnya adalah didikan moral yang mana yang kita maksud untuk menguatkan empati sedangkan media bermain mereka adalah suguhan tubuh seksi, genit dan lainnya yang sudah keluar dari kaidah dan etika belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun