Mohon tunggu...
Hairatunnisa
Hairatunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Penikmat literasi dan fiksi dan kini tertarik pada isu wilayah dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Berpikir Sistemik Pemberantasan Korupsi a la Fahri Hamzah

22 Oktober 2019   06:01 Diperbarui: 22 Oktober 2019   09:55 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua DPR-RI Fahri Hamzah di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (9/5/2017).(Estu Suryowati/KOMPAS.com)

Suka atau tidak suka,  per tanggal 17 Oktober 2019 lalu resmi sudah berlakunya revisi UU KPK yang menimbulkan pro kontra di tengah-tengah masyarakat. Meskipun UU tersebut ditentang banyak pihak, terutama oleh kalangan mahasiswa, namun tetap saja pemerintah dan DPR seolah bergeming dan kompak mengamini disahkannya undang-undang tersebut. 

Padahal UU tersebut diyakini banyak pihak dapat melemahkan kinerja KPK yang merupakan anak kandung reformasi dalam pemberantasan korupsi. Tentu kita tidak pernah lupa periode kelam pemberantasan korupsi negeri ini sebelum era reformasi. 

Saat itu, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dianggap hal lumrah di negeri ini, sehingga baik pejabat pemerintah pusat hingga daerah tidak mampu melepaskan diri dari jerat-jerat KKN. Bahkan, lembaga sesuci kementerian agama pun yang telah khatam perkara halal dan haram ikut terbawa pusaran arus korupsi.

Walaupun korupsi dianggap biasa oleh para elitis, namun bagi masyarakat sipil, korupsi merupakan tindak kejahatan luar biasa (extraordinary crime). 

Keresahan masyarakat di akar rumput melihat praktik korupsi di negeri menjadi pemantik gebrakan revolusioner pada era reformasi untuk menggugat sistem pemerintahan yang terlanjur korup. 

Bahkan kini keresahan yang sama timbul kembali. Jika ingin jujur, sistem korup ini terjadi bukan karena salah siapa-siapa, melainkan karena kita semua terlanjur menganggap dan membiarkan perbuatan dosa sebagai perbuatan biasa.

Mungkin kita harus belajar jujur dahulu untuk mengakui bahwa ada yang salah pada sistem politik dan pemerintahan kita saat ini yang masih bersifat feodal yang mungkin saja merupakan warisan turun-temurun pemerintahan dahulu, lebih jauh lagi warisan VOC, atau bahkan warisan jaman kerajaan. 

Simpelnya, budaya feodal sudah mengakar kuat pada budaya kita sehingga tidak jarang masih ditemukannya dinasti politik serta oligarki-oligarki yang menguasai negeri. Alhasil, kerapkali walaupun tidak ingin melakukan korupsi, banyak pihak yang kemudian 'terpaksa' karena berada di dalam lingkaran sistem yang korup tersebut.

Maka tidak mengherankan kelahiran KPK pada tahun 2002 disambut dengan penuh suka cita, walaupun kelahirannya harus didahului dengan darah dan air mata. Namun tidak mengapa karena pembentukan lembaga KPK salah satunya menjadi jalan terang pemberantasan korupsi di negeri ini. 

Setelah kurang lebih 17 tahun KPK berdiri, kinerjanya patut diacungi jempol sehingga membuat masyarakat sipil kerap bertepuk tangan. Setidaknya kehadiran KPK membawa pesan segar bahwa pelaku tindak kejahatan korupsi akan mendapat balasan hukum di dunia. 

Namun, meski KPK telah lama berdiri mengapa tindakan korupsi terus terjadi dan dari hari ke hari kian menjamur seperti jamur di musim penghujan? Apakah kehadiran KPK tidak cukup membuat gentar para elitis untuk berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi?

Ada statement menarik Fahri Hamzah terkait lembaga KPK yang mengatakan bahwa lembaga tersebut tidaklah sesuci itu. Hal ini mungkin saja mengingat pegawai KPK berasal dari berbagai institusi sehingga sangat mungkin bisa terjadi konflik kepentingan dalam proses pengusutan suatu kasus. 

Bahkan seringkali Fahri Hamzah berseloroh sambil mengatakan jika diberi mandat dalam pemberantasan korupsi, maka korupsi di Indonesia dapat diselesaikannya hanya dalam waktu satu tahun saja. 

Waduh, bukan Fahri Hamzah namanya jika komentarnya tidak menimbulkan kontroversi. Sehingga tidak mengherankan sosok Fahri Hamzah oleh masyarakat dilambangkan sebagai ikon perlawanan terhadap KPK karena seringkali statementnya terdengar mengerdilkan peran lembaga yang sangat dicintai dan dielu-elukan publik. 

Apalagi posisinya saat itu berada di dalam lingkaran kekuasaan legislatif yang kerapkali menjadi sasaran empuk operasi KPK. Lantas, bagaimana mungkin publik tidak menaruh curiga serta sentimen negatif?

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah saat menjadi narasumber utama dalam peluncuran bukunya yang berjudul ?Arah Baru Kebijakan Kesejahteraan Indonesia? di Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2019). (DOK. Humas MPR)
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah saat menjadi narasumber utama dalam peluncuran bukunya yang berjudul ?Arah Baru Kebijakan Kesejahteraan Indonesia? di Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2019). (DOK. Humas MPR)

Jika tidak memperturutkan emosi, tentu ada benarnya kalimat bahwa KPK masih belum sempurna sehingga tidak luput dari cela. Hal ini karena mustahil ada suatu sistem buatan manusia yang tanpa cela sehingga penyempurnaan demi penyempurnaan diperlukan. 

Maka, di tiap kesempatan Fahri Hamzah selalu konsisten berpendapat bahwa pemberantasan korupsi yang tepat diterapkan di Indonesia tidak harus selalu melulu oleh KPK. 

Korupsi dapat diberantas dengan pendekatan sistemik dengan menciptakan suatu iklim yang memungkinkan korupsi tidak dapat terjadi. Loh, bagaimana bisa? Wah, semua bisa saja 'karena kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelaku tetapi juga karena ada kesempatan'. 

Dengan memutus mata rantai yang menyebabkan seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi, maka dapat mencegah terjadinya korupsi tersebut.

Jika ingin memberantas korupsi, maka harus diawali dengan proses rekrutmen kepala dan pejabat pemerintah, serta perwakilan rakyat yang berjalan bersih. Sayangnya, ongkos politik di negeri ini sangat mahal sehingga banyak pihak yang mencari sponsor, lalu menggunakan dana tersebut untuk membeli suara pemilih serta menyuap banyak pihak. 

Kemudian jika pun sudah masuk ke dalam lingkaran kekuasaan cenderung mencari jalan-jalan pintas untuk membalas budi kepada sponsor atau mencari cara untuk mengembalikan modal yang hilang selama proses pilkada atau pemilu. Dan begitulah siklus yang terjadi berulang secara terus-menerus. Maka luarannya adalah orang yang korup. Jika tidak kaya atau bergelimang dosa dahulu, maka sulit untuk masuk. 

Orang-orang baik yang kurang berada secara finansial akan tersisih dengan sendirinya oleh sistem tersebut. Atau seperti ungkapan populer di film Joker bahwa orang yang pada mulanya baik, cenderung akan berubah menjadi jahat karena disakiti oleh suatu sistem. 

Maka, mungkin salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah pembiayaan politik oleh negara, bahkan kalau perlu secara penuh begitu usulan Fahri. Dengan demikian tidak ada lagi inisiatif mandiri untuk mencari sponsor dan melakukan balas budi jika telah duduk di singgasana. Mereka bebas bekerja mewakili konstituennya, bukan suara partai, dan bukan pula suara pemberi sponsor.

Lalu selain mempertimbangkan input, proses, serta output yang bersih, pendekatan sistemik di dalam pemberantasan korupsi memerlukan suatu mekanisme yang dapat mengintegrasikan dan menggerakkan seluruh sub-sistem yang ada. 

Jadi bukan hanya lembaga KPK saja yang harus memiliki integritas serta mengeluarkan keringat dalam pemberantasan korupsi, namun lembaga lain juga harus diberdayakan secara sungguh-sungguh seperti BPK dalam proses audit keuangan, ataupun Polri di dalam penyidikan dan penindakan. 

Berikan KPK jangka waktu dalam bekerja untuk menyiapkan kerangka/fondasi yang kokoh dalam pemberantasan korupsi agar dapat diterapkan oleh seluruh lembaga di Indonesia. 

Jika telah tunai segala tugasnya, maka dapat dipertimbangkan agar lembaga ini dapat dibubarkan dengan sendirinya sehingga tidak menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan lawannya mengingat otoritas KPK yang begitu besarnya. 

Lalu, apakah dengan begitu korupsi dapat diberangus hanya dalam waktu singkat? Tentu saja political will yang sungguh-sungguh dalam pemberantasan korupsi oleh seluruh lembaga, tidak hanya KPK, diperlukan.  

Bila semua dapat bekerja dengan integritas penuh maka korupsi mungkin saja benar-benar dapat hilang dari negeri ini. Wallahu'alam.

Hairatunnisa, warga negara biasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun