Mohon tunggu...
Hairatunnisa
Hairatunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Penikmat literasi dan fiksi dan kini tertarik pada isu wilayah dan kebijakan publik

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kamera dan Kehidupan Analog yang Tidak Terburu-buru

19 September 2019   07:08 Diperbarui: 19 September 2019   17:28 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pribadi (2019)

"Kak, temenin aku hunting foto dengan kamera analog yuk!" ajak adikku saat itu yang baru saja memiliki mainan baru berupa kamera analog yang dibelinya seharga 250 ribu rupiah. Kamera miliknya sederhana saja. 

Hanya ada tombol shutter, blitz, dan ruang penyimpan roll film. Hmm, kamera analog? Rasanya terakhir kali aku memegang kamera tersebut adalah sekitar kelas 6 SD. Kamera itu sengaja dipinjam ayahku kepada seorang temannya untuk mendokumentasikan kegiatan fieldtrip-ku bersama teman-teman sekelas beberapa hari menjelang acara perpisahan SD.

Tapi kini, tidak disangka-sangka ternyata kamera analog dilirik kembali. Kamera ini sedang booming di antara anak-anak milenial yang ingin merasakan kembali kehidupan di era 90's yang belum terpapar teknologi digital semasif saat ini. 

Ternyata benar juga bahwa hidup manusia adalah pengulangan sejarah. Sayang sekali, justru perusahaan Kodak yang merupakan perintis dalam industri kamera analog dan film fotografi telah mendeklarasikan kebangkrutannya beberapa tahun yang lalu karena tidak mampu bersaing menghadapi tantangan perkembangan zaman yang apa-apa kini serba didigitalisasi.

"Pakai kamera analog itu seru, loh. Satu roll film isinya cuma 36 film. Jadi, setiap lembaran film itu berharga dan rasanya gak ingin dipakai cuma-cuma. Selain itu, setiap roll film itu punya karakteristik tone warna yang berbeda-beda. 

Ada hijau, keemasan, merah, dan sebagainya. Jadi hasil fotonya juga bergantung pada tone filmnya. Terus, yang aku suka, setelah shutter ditekan, kita gak bisa langsung lihat hasilnya, atau menghapusnya kalau ternyata hasilnya jelek, karena filmnya harus dicuci dulu barulah hasil fotonya kelihatan. Walaupun, sekali cuci harus mengeluarkan sekitar 40ribu rupiah."

Aku tersenyum-senyum mendengar penjelasan adikku. Sebagian besar info yang diberitahunya aku sudah tahu. Tapi sebagian lainnya, ternyata tidak kuketahui, terutama tentang film yang ternyata memiliki beraneka tone serta bahwa kini hasil film yang telah dicuci ternyata bisa disimpan dalam bentuk softfile. Wah, ternyata zaman kini sudah begitu canggihnya!

Sumber: Pribadi (2019)
Sumber: Pribadi (2019)
Aku senyum-senyum lagi. Tapi, bukankah kalau begitu lebih baik kamera digital saja? Praktis, ringkas, dan cepat. Bukankah saat ini kita menyukai segala sesuatu yang serba cepat dan instan? 

Apalagi kini sudah banyak kamera digital yang memiliki fitur wifii, sehingga sedetik setelah foto diambil maka foto tersebut bisa langsung dikirim ke smartphone dan di-upload ke media sosial saat itu juga.

Di mana hal ini turut mengubah cara pandang kita bahwa hasil foto yang awalnya dinikmati untuk pribadi kini juga ingin dinikmati secara publik. Pantas saja orang-orang kian hari semakin narsistik dengan dalih sebagai bentuk aktualisasi diri.

Hingga akhirnya seminggu kemudian barulah adikku mengirimkan hasil film yang telah dicuci dalam bentuk soft file. Wah, ternyata hasil fotonya terlihat begitu aesthetic dan terlihat seperti sudah diedit dengan penambahan berbagai filter.

Padahal foto itu masih berupa file raw tanpa proses editing sama sekali. Wah, ternyata hasil foto kamera analog itu boleh juga ya? Sepertinya pandanganku terhadap kamera ini sedikit-sedikit mulai berubah.

Apalagi adikku saat itu juga berujar, "Tapi tetap saja jika dibandingkan, aku lebih suka menggunakan kamera analog daripada kamera digital, karena aku jadi menikmati prosesnya." Ah, ternyata kehidupan santuy (read santai) itu juga indah. Menikmati proses. Bukan fokus mengejar hasil.

Ah, benar juga. Dipikir-pikir lagi kenapa di era ini kita cenderung terburu-buru mengejar hasil secara instan. Sebenarnya kita sedang mengejar atau dikejar apa, sih?

Bukankah lebih baik menikmati proses yang berkualitas itu ketimbang mengejar kuantitas? Seperti saat menanti-nanti kiriman wesel orangtua sambil mengirit pengeluaran. 

Menanti kiriman kartu pos dari sahabat pena yang berbeda pulau dengan penuh harap. Menikmati membaca koran pagi sambil menyeruput nikmat kopi sebelum bekerja. 

Berbincang hangat bersama handai taulan tanpa sebentar-sebentar teralih oleh dering smartphone. Ah, betapa intim dan romantisnya kita dahulu dalam menjalin relasi antar manusia dan dalam menjalani hidup. Should we just go back to the analog era?

Hairatunnisa, menyenangi fotografi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun