Di tengah konstetasi politik ibukota yang nampaknya tidak pernah surut dari waktu ke waktu ada satu isu yang luput dari perhatuan masyarakat yaitu isu perubahan iklim. Isu ini menjadi penting karena dikaitkan dengan tenggelamnya Jakarta di masa depan. Jakarta diprediksi akan tenggelam oleh para pakar pada tahun 2030 yang ditandai dengan menurunnya ketinggian tanah dan naiknya permukaan air laut di pesisir. Dengan tenggelamnya Jakarta, pesisir laut pun akan  bergeser bukan di Jakarta Utara lagi, bukan tidak mungkin di masa depan Kawasan monas di Jakarta Pusat akan berbatasan dengan laut.
Bukan hanya terjadi di Indonesia
  Dampak perubahan iklim ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di berapa negara-negara di dunia sendiri ancaman beberapa kota akan tenggelam pun banyak terjadi seperti di Osaka, Shanghai, Alexandria, Rio de Janeiro, Miami dan masih banyak lagi kota-kota di dunia yang terancam. Hal tersebut diakibatkan oleh naiknya temperature suhu di bumi akibat penggunaan bahan bakar fosil berlebihan sehingga terjadi greenhouse effect yang mengakibatkan es di kutub mencair dan membuat permukaan air laut naik.
Solusi Pemerintah Indonesia
  Salah satu cara untuk mencegah dampak dari perubahan iklim ini dengan mengurangi emisi karbon. Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi emisi karbon ini dengan beragam kebijakan. Di Jakarta sendiri Gubernur Anies Baswedan getol mengurangi emisi karbon ini dengan mengembangkan transportasi umum sedemikian rupa dengan sistem transit yang memudahkan integrasi semua sektor kendaraan umum di Jakarta. Lebih lanjut lagi Gubernur Anies berusaha pelan-pelan merubah kota Jakarta yang dulunya berorientasi kendaraan pribadi menjadi orientasi kendaraan umum yang kemudian mendapatkan penghargaan Sustainable Transport Award 2020.
   Selain akibat dari efek gas rumah kaca yang dihasilkan gas karbon, tenggelamnya Jakarta juga disebabkan oleh menurunnya ketinggian permukaan tanah. Menurunnya ketinggian tanah tersebut salah satunya disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebih. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah pusat sudah menghimbau Pemprov DKI untuk melarang warganya menggunakan air tanah. Namun respon dari Pemprov DKI belum sepenuhnya melarang penggunaan air tanah melainkan baru sekadar menghimbau untuk mengurangi dikarenakan sumber mata air di dekat Jakarta dirasa belum memenuhi.
Siapa yang salah?
  Seperti tabiat kebanyakan orang Indonesia dimana setiap ada permasalahan yang pertama dicari adalah kambing hitam atas permasalahan tersebut ketimbang mencari solusi penyelesaian bersama. Hal tersebut juga berlaku pada ancaman lingkungan di Jakarta ini dimana terjadi saling lempar kesalahan antar berbagai pihak. Warga menyalahkan pemerintah yang dianggap tidak becus dalam membuat kebijakan untuk menanggulangi permasalahan ini. Pemerintah menyalahkan warganya yang bertindak semena-mena dan tidak mematuhi peraturan. Bahkan lebih ekstrim lagi kaum agamis berpendapat bahwa permaslahan ini terjadi karena azab akibat melakukan maksiat. Â
  Memang semua tuduhan itu benar menurut sudut pandang masing-masing pihak, namun pada saat situasi menjadi lebih memburuk, bukan itu yang harus menjadi perhatian. Saat ini yang diperlukan adalah integrasi dan upaya bersama untuk mencari solusi agar keluar dari ancaman ini, bukan malah mencari kambing hitam untuk disalahkan, sehingga energi yang seharusnya dipakai untuk mencari solusi malah habis untuk bertikai satu sama lain.