Sisil pun setelah mendengar kalimat terakhir dari Zamud seolah mulai paham apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Dia segera mematikan laptopnya dan fokus terhadap Zamud yang sedang berbicara.
“Apa yang aku rasain sekarang udah jauh berbeda dari apa yang aku rasain dulu. Rasa aku semakin memudar. Sampai akhirnya hilang, Sil.” Lanjut Zamud dengan intonasi suara yang halus.
“Ma-maksudnya?” tanya Sisil tergagap disertai air mata yang perlahan keluar.
“Penjelasan paling sederhana dari aku: cintaku udah gak ada lagi. Sorry, itu sejujur-jujurnya yang bisa aku bilang ke kamu. Aku juga gak tahu kenapa. Bisa jadi karena sekarang kita udah jadi orang yang beda.”
“Empat tahun itu waktu yang lama lho buat mutusin semuanya,” kata Sisil.
“Ya, mau gimana lagi, Sil. Rasa ku udah gak ada lagi buat kamu. Maaf ya terkesan tiba-tiba,” jawab Zamud.
Cukup. Sisil sudah tidak mau mendengar kalimat berikutnya lagi. Dia langsung mematikan telfonnya. Dia perlu berfikir keras untuk menyelamatkan hubungan LDR ini.
Memang bukan hal yang mudah menjalani hubungan jarak jauh. Beda kota, beda kampus, beda kegiatan, beda semuanya. Perselisihan pun sudah sering terjadi selama setahun belakangan ini. Jika diteruskan yang ada hanya saling menyakiti. Tapi jika diputuskan, akan dibawa kemana semua kenangan manis kita yang sudah terjadi?
Keesokan harinya Sisil dengan hati yang masih bersedih mencoba mengirim pesan ke Zamud. Memastikan hal yang menurutnya masih tidak jelas, abu-abu. Namun, Zamud tak kunjung membalas pesannya seolah menjadi orang asing di telan bumi. Selang beberapa menit, Sisil membuka Instagram dan baru sadar bahwa Zamud tak lagi mem-follow-nya.
Sisil terdiam. Kelas dan rapat yang rutin dia lakukan sekarang terbengkalai. Tugas-tugas menumpuk. Dia mencoba mengumpulkan mood-nya tapi tak juga berhasil. Isi otaknya hanya diisi satu orang: Zamud. Sisil pun semakin sedih seolah dilema harus tetap menunggu Zamud yang tidak ada kejelasan atau mengerjakan tugasnya kembali.
Kegalauan ini berimbas pada nilainya yang tiba-tiba turun.