Mohon tunggu...
Hafizh Bakri
Hafizh Bakri Mohon Tunggu... -

Seorang Hamba yang terus berprogres

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengembalikan Hak Tangan Kiri (BUMN) Untuk Membantu Tangan Kanan (APBN) Dalam Membangun Perekonomian Indonesia

7 November 2016   00:55 Diperbarui: 7 November 2016   07:11 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dalam teori pilihan publik (public choice theory) atau yang juga dikenal sebagai pendekatan ekonomi politik baru (new politican economy approach) mengemukakan bahwa pemerintah ketika menjalankan aktivitasnya tidak efisien dan cenderung korup, hal itu terjadi karena orang-orang yg menggunakan pemerintahan hanya untuk mencapai tujuan mereka sendiri.

            Teori tersebut menjadi suatu realita yang tidak terbantahkan di Indonesia, Khususnya pada masa orde baru hingga saat ini, dimana praktek-praktek korupsi terjadi hampir di segala lini pemerintahan, khususnya di BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Indonesia seperti yang terjadi di Bulog, Telkom hingga Pertamina dll.

            Berdasarkan kajian LPEM (Lembaga Penelitian Ekonomi Manajemen) Universitas Indonesia , Korupsi di BUMN terjadi karena beberapa hal diantaranya : Pertama, kuaitas direksi lemah.  Kedua, pengangkatan direksi BUMN bukan berdasarkan kapabilitas tetapi bermuatan politik dan berdasarkan loyalitas. Ketiga, setoran uang yang menyebabkan terjadinya KKN. Bahkan BUMN sering dijadikan sapi perahan, baik untuk kepentingan pribadi, kelompok tertentu hingga partai politik sehingga korupsi di BUMN menjadi masalah yang sangat akut.

            Belum lagi masalah privatisasi yang sedang menyerang BUMN, semenjak UU 19 tahun 2003 tentang privatisasi BUMN dikeluarkan oleh pemerintah, BUMN dipaksa Initial Public Offering (IPO) atau menjual sahamnya dipasar modal, sehingga semua orang bisa memiliki BUMN termasuk pihak asing. Tercatat aset strategis seperti PT Pelindo II dan PT Pelindo III yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak, PT Telkomsel dan PT Indosat yang menguasai sektor telekomunikasi Indonesia, PT Perusahaan Gas Negara (PGN), PT Krakatau Stell, PT Jasa Marga dan lain-lain mulai dikuasai oleh pihak swasta, tercatat dari tahun 1991-2011 jumlah BUMN yang diprivatisasi mencapai 26 perusahaan dan 13 perusahaan diantaranya sudah tidak menjadi kepemilikan negara secara mayoritas atau resmi milik swasta.

             Memang tujuan dari pemerintah melakukan privatisasi bukan untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan BUMN.Tentu saja klaim ini harus ditijau kembali, sebab privatisasi merupakan penjualan aset-aset negara sehingga terjadi pemindahan atau menghilangkan kepemilikan dari milik negara/publik menjadi milik swasta (private sector).

            Menurut FITRA ( Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Privatisasi hanya menyetor rata-rata 1- 2,5 persen dari total APBN dan profitisasi bergerak pada kisaran 2- 3,5 persen. Sehingga, kontribusi BUMN ke APBN hanya sebesar enam persen. Apabila di komparasikan dengan pos “ cukai “ di pendapatan negara, kontribusi BUMN sangat mengecewakan karena cukai mampu menyumbang rata- rata sebesar 6,35 % terhadap pendapatan negara, padahal kita ketahui semua bahwa sektor bisnis yang digarap oleh BUMN merupakan sektor yang memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, seperti Pertamina (mengelola minyak), PLN ( mengelola listrik) dan masih banyak lagi.

            Pertamina sebagai BUMN terbaik di Indonesia atau perusahaan yang dianugerahkan sebagai perusahaan peringkat 123 di dunia versi majalah fortune. Pada tahun 2014, Pertamina hanya menyumbangkan pendapatannya sebesar Rp 78,22 triliun ke negara, dimana Rp 9,5 triliun disumbang melalui setoran dividen dan Rp 68,72 triliun disumbang melalui pembayaran pajak. Jika di persentasekan pertamina menyumbang 19 % dari total APBN.

            Bila dibandingkan dengan Petronas sesama National Oil Crude (NOC), kontribusi Pertamina belum ada apa-apanya. Karena Petronas menyumbangkan 40 % dari APBN Malaysia. Padahal dilihat dari potensi yang mereka punya, mereka tidak punya apa yang kita miliki dan jika dilihat dari sejarah Petronas pernah berguru ke Pertamina.

            Belum lagi masalah minimnya dukungan political will pemerintah dalam mengelola sumber daya alam secara mandiri, hal in terdokumentasikan dalam redaksi pidato Presiden Jokowi dalam KTT APEC 2014 “ we are waiting for you to come to Indonesia. We are waiting for you to invest in Indonesia. Thank you. Dari redaksi diatas cukup menggambarkan political willpemerintah dalam membangun perekonomian bangsa ini cenderung liberal dan seorang Presiden seperti seorang pengobral aset-aset bangsa ini. Tercatat, sejak dikeluarkannya UU No 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, sampai saat ini ada 3.143 proyek yang dikelola oleh asing, 235 proyek dibidang pertambangan.

            Lebih mengherankan lagi pemerintah lebih mengutamakan perusahaan asing dari pada BUMN dalam mengeksplorasi sumber daya alam padahal BUMN mampu mengelola sumber daya alam tersebut, contohnya, tahun 2013 kasus blok Siak di Riau, pemerintah lebih memilih Chevron (USA) dari pada Pertamina dalam mengelola blok Siak.

            Maka dari itu perlu solusi yang fundamental agar segala permasalahan yang dialami oleh BUMN teratasi, salah satunya dengan perspektif Islam. karena Islam telah mengatur segala jenis aktivitas manusia, bahkan masuk WC saja Islam mengaturnya, apalagi aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan BUMN  dan sumber daya alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun