Mohon tunggu...
I Hafizal
I Hafizal Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Ergo est scribo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah Diam Itu Emas?

5 Juli 2019   17:30 Diperbarui: 22 Maret 2021   15:21 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah siapa yang memulai, tapi sekarang lebih banyak orang yang ingin bersuara dari pada mendengarkan. Sepenglihatan saya, media sosial semakin menjadi kebutuhan. Setiap orang semakin senang mengunggah apapun. Dari menunjukkan kebahagiaan hingga kekecewaan. 

Terkadang memamerkan senyuman, terkadang mengeluh disertai caci maki. Media sosial semacam facebook, instagram, twitter, dan bahkan whatsapp story sekalipun menjadi ranah bagi mereka untuk mencurahkan isi hati.

Saya akan merasa semua baik-baik saja jika yang saya lihat di media sosial ialah cerita-cerita kebahagiaan. Terlepas dari mengetahui unggahannya tergolong ria atau tidak, tapi melihat kebahagiaan orang lain termasuk teman dekat mungkin bisa membantu kebahagiaan diri sendiri. 

Kecuali begitu melihatnya malah timbul rasa cemburu, iri, dan dengki. Mungkin kita hanya perlu bahan untuk introspeksi diri.

Namun saya rasa semua sedang tidak baik-baik saja karena kali ini media sosial sudah penuh dengan curahan hati dan cerita-cerita yang terbilang 'serius kaya ginian lu ceritain di medsos?'. Tidak sedikit saya melihat pengguna media sosial berlomba menceritakan hal-hal terburuk dalam hidupnya, 

misal pengalamannya berjuang dari pikiran untuk bunuh diri, pengalamannya berjuang dari hubungan yang toxic dan merelakannya, pengalamannya berhubungan intim dengan pacar tapi terpaksa tapi ternyata enak, dan pengalamannya pacaran sama sahabatnya mantan hingga akhirnya terjadi pertengkeran. 

Dengan kedok 'sekedar berbagi pengalaman' dan 'sekedar mengingatkan' setiap orang dapat bebas menuliskan apapun. Semua pengalaman pribadi atau pengalam orang lain pun bisa menjadi sesuatu yang harus menarik perhatian yang memungkinkan untuk viral. Iya, viral. Entah siapa yang memulai, tapi sekarang lebih banyak orang yang ingin viral.

Saya juga tidak mengetahui dengan pasti bahwa viral ialah sesuatu yang positif atau pun negatif. Hanya saja kondisi 'ingin viral' ini saya rasa cukup dekat dengan istilah attention seeker. 

Ketika sesuatu yang diunggah tidak mengundang massa untuk memberikan respons, maka akan timbul rasa tidak exist, tidak dipedulikan, dan mungkin tidak dicintai. Karena pada intinya unggahan tersebut selain berniat menjadi viral ialah untuk mencari perhatian.

Sekarang apakah semua orang lebih suka diam? Mungkin diam di mulut, berisik di media sosial. Setiap orang berlomba mencari celah untuk dapat mencurahkan. Segala hal diceritakan, segala hal dikomentari, segala hal dibanding-bandingkan, segala hal menjadi segala-galanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun