Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sarung dan Narasi Anti Budaya Arab di Indonesia

20 Januari 2021   17:59 Diperbarui: 20 Januari 2021   18:43 2015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat Arab-Yaman sebagian besar masih menggunakan sarung (al-fanshuri.blogspot.com)

Ketika saya menjelajahi dunia maya, saya menjumpai seliweran tulisan di blog maupun video di youtube yang menarasikan seolah-olah budaya asli Indonesia tidak ada pengaruh Arabnya. Ada pula yang menarasikan betapa buruknya budaya bangsa Arab itu. Karenanya, mereka berusaha mengungkai dan menolak keberadaan unsur budaya Arab di dalam budaya Indonesia.

Satu kali saya menjumpai video, yang isinya kira-kira mau menyatakan begini "jubah itu budaya Arab, sedang sarung itu budaya asli Indonesia, lebih baik menggunakan sarung daripada berjubah". Orang-orang yang membuat dan mendukung narasi ini, sudah dipastikan punya pemahaman sempit akan budaya serta memandang bahwa budaya Arab itu hanya dicerminkan dari kehidupan orang Arab di Arab Saudi sekarang.

Padahal persebaran kultur Arab itu tidak sesempit itu. Di Yaman, kita bisa melihat orang-orang Arab tradisional, tidak berjubah dan malah menggunakan sarung layaknya orang Indonesia. Sejarawan meyakini bahwa wilayah Yaman justru menjadi titik awal peradaban Bangsa Arab Pra-Islam.

Kawasan Yaman atau Jazirah Arab bagian selatan, juga berhadapan langsung dengan Samudera India. Pesisir pantainya diyakini terdapat pelabuhan-pelabuhan kuno yang menghubungkan jalur maritim dari Timur Tengah ke Teluk Persia, menuju pantai timur dan barat India bahkan sampai ke Nusantara di masa lalu. Bukti arkeologi terbaru dari Pantai Barat Sumatra, ditemukan pecahan kaca-kaca yang diproduksi di Persia dan Timur Tengah serta koin-koin dirham yang berasal dari era Dinasti Muawiyah dan Abbasiyah.

Penjelasan temuan koin dirham Abbasiyah oleh arkeolog (Ery Soedewo PPT)
Penjelasan temuan koin dirham Abbasiyah oleh arkeolog (Ery Soedewo PPT)

Interaksi dagang antara orang Arab dan orang asli yang mendiami kepulauan Nusantara juga berimbas pada pertukaran budaya termasuk kain sarung serta gaya pemasangannya. Di Era yang sama, bangsa asli saat itu mungkin tidak berkain sarung, mereka menggunakan cawat yang dibuat dari kulit kayu dan kain.  Budaya seperti itu masih terlihat pada etnis Dayak, Mentawai, Nias dan berbagai suku bangsa di bagian timur. Hal ini terjadi karena interaksi mereka dengan bangsa asing sangat terbatas. 

Di masa Jawa Kuno, kebanyakan pria malah tidak berkain sarung. Dikutip dari historia, relief-relief di Borobudur kebanyakan menggambarkan pria menggunakan cawat, celana pendek, kain pendek yang dililit sehingga lutut, atau kain panjang hingga mata kaki.

Baca Selengkapnya di: Cara Berpakaian Orang Jawa Kuno

Busana pria pada masa Jawa Kuno pada relief cando Borobudur (sumber:http://www.pasramanganesha.sch.id/)
Busana pria pada masa Jawa Kuno pada relief cando Borobudur (sumber:http://www.pasramanganesha.sch.id/)

Jadi, sangat jelas bahwa kain sarung yang digadang-gadang sebagai budaya asli Indonesia justru sangat kentara budaya Arabnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun