Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Beduk Kuno di Kerinci, Suaranya Bukanlah Penanda Waktu Salat dan Berbuka Puasa

8 Mei 2020   11:49 Diperbarui: 25 Mei 2022   22:29 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tabuh Aga dusun Kemantan Darat (Sumber: BPCB Jambi)

"Duk, duk, duk..." suara yang pasti dinantikan oleh setiap insan di bulan ramadan ini. Pasalnya ia menjadi penanda masuknya waktu berbuka sekaligus menjadi penanda waktu salat. Di Masjid Agung Semarang, tiga puluh menit sebelum azan salat Jumat, beduk selalu dipukul pada setiap jeda lantunan Al Quran.

Ia menjadi pengingat bagi umat Islam bahwa sebentar lagi azan jumat akan dikumandangkan. Hal serupa juga dijumpai di Masjid Al-Quds, Kudus, beduk yang terletak di atas menara kuno itu selalu dibunyikan menjelang azan, terutama azan Magrib. Tak harus jauh-jauh ke masjid tersebut, stasiun televisi juga kerap menayangkan suaru beduk ini sebelum azan Magrib. 

Beduk memang sangat identik dengan tradisi muslim di Indonesia dan Malaysia. Gendang berukuran raksasa ini, diletakkan di sebelah masjid, surau atau langgar. 

Ia senantiasa dipalu sesaat sebelum azan. Suara menggema yang dihasilkannya akan terdengar di seluruh kampung menjadi penanda bagi setiap muslim untuk segera melaksanakan ibadah salat.

Suatu hal yang tak mungkin dijumpai di negara mayoritas muslim lainnya di dunia. Di masa lalu, beduk menjalankan fungsi komunikasi-religius yang amat penting. 

Sebelum adanya mikropon, suara azan mustahil dapat didengar oleh seluruh masyarakat suatu perkampungan. Kendala komunikasi tersebut kemudian diatasi dengan menggunakan beduk. 

Beduk merupakan alat komunikasi kuno yang sudah digunakan jauh sebelum kedatangan agama Islam di Indonesia. Awalnya, ia tidak hanya menjalankan fungsi religius semata tetapi juga memiliki fungsi non-religius.

Fungsi non-religius ini, masih bisa dijumpai di wilayah Kerinci, Jambi. Beduk di Kerinci, disebut sebagai "tabuh". Bentuknya sedikit berbeda dengan beduk-beduk yang ada di Jawa. 

Di Kerinci, beduk memiliki ukuran yang jauh lebih panjang, panjangnya bisa mencapai sembilan meter. Sementara itu, proporsi diameter bidang pukulnya jauh lebih pendek bila dibandingkan dengan ukuran panjang atau dibandingkan dengan rata-rata bidang pukul beduk berukuran besar yang ada di Jawa. 

Rangka beduk dibuat dari batang pohon utuh yang dilubangi pada bagian tengah, sehingga memiliki bentuk silinder atau tabung memanjang. Sisi lubang dengan diameter yang lebih besar dijadikan sebagai bidang pukul.

Pada bagian tersebut dipasangkan kulit kambing atau kulit sapi yang diikat menggunakan rotan dan tali. Kulit kambing tersebut dikencangkan menggunakan pasak-pasak kayu di sekelilingnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun