Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Heboh Virus Corona, Ini Cara Masyarakat Lampau Hadapi Wabah Penyakit

31 Januari 2020   22:00 Diperbarui: 8 Maret 2022   12:52 4511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penderita Kusta di Batak sekitar tahun 1925. Sumber. KITLV

Hal serupa juga terjadi di Nusantara, kebanyakan penderita kusta akan dikucilkan atau dibuang dari kampung oleh keluarganya. Di akhir abad 19, Veth mencatat bahwa penderita Kusta di pedalaman Jambi akan dibuang ke hutan atau gunung oleh keluarganya. Mereka dibekali dengan rokok, tembakau, kemenyan, bekal makanan dan batu pemantik api untuk memohon kesembuhan dari roh gunung. 

Selain dengan cara itu, mereka akan dibuatkan pondok-pondok kecil jauh dari kampung sebagai tempat tinggal mereka. Pihak keluarga akan secara bergantian menghantarkan makanan untuk mereka. Praktik pembuangan penderita kusta bahkan masih berlaku di awal abad ke-20  di pedalaman Batak. 

Berbeda dengan kusta, cacar tampaknya jauh lebih ditakuti karena menyebabkan tingkat kematian cukup tinggi bagi penderitanya terutama anak-anak. Di Aceh, Bali, Batak dan Sulawesi, penduduk akan lebih memilih meninggalkan desa selama bertahun tahun jika ada salah penduduknya yang terkena cacar.

Suku Anak Dalam dan Orang Dayak memilih untuk tidak ke dataran rendah dan berada di lingkungan orang asing guna menghindari cacar. Jikalau harus berinteraksi haruslah dalam jarak jauh. 

Penduduk Siulak di Lembah Kerinci menyebut cacar dan campak sebagai "dmam brajo". Lantaran menurut legendanya penyakit cacar ini pertamakali dibawa ke sana oleh salah seorang Raja  dan Pangeran dari Jambi. Sejarawati Andaya, memang pernah mencatat ada seorang raja dan beberapa pangeran dari Kesultanan Jambi yang meninggal akibat wabah cacar. 

Meskipun telah wafat, roh raja ini dipercaya tetap akan menyebarkan penyakitnya ke hulu sungai bila ada suatu larangan yang dilanggar. Di dunia gaib, roh raja ini disebut sosoknya bersurban putih, berjanggut putih dengan tongkat dan uncang (tas tradisional) yang disandang di bahunya. Tas itu berisi dua jenis biji yaitu  biji kecil yang seperti biji bayam dan biji besar seperti biji jagung. 

Sang roh akan menyebarkan bibit yang ada di dalam tasnya itu, bila seseorang terlempar bibit yang kecil maka ia akan terkena campak. Sekujur tubuhnya akan tumbuh bintil sebesar biji bayam. Dan bila terlempar biji jagung maka akan terkena cacar. Sekujur tubuhnya akan tumbuh bintil sebesar bii jagung.

Secara tradisional untuk bila cacar dan campak ini mewabah, para dukun terlebih dulu akan meletakkan sirih, pinang dan sesajian untuk meminta roh raja itu tidak mengganggu serta meminta obat dari penyakit yang telah disebarnya itu. 

Masyarakat akan menggunakan air rendaman Bungo Cino (Bunga kaca piring) dan bungo/kayu cinano (bagian bunga atau serpihan kayu Cendana) untuk diminumkan ke pasien. Mereka juga akan senantiasa diasapi dengan kemenyan karena dianggap mampu mengurangi rasa sakit dan gatal dari ruam cacar-canpak.

Bersyukurlah kita generasi  yang hidup di masa kini. Kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu kedokteran telah membantu kita menghindari berbagai wabah penyakit, termasuk cara menghindari virus Corona ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun