Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melestarikan Tradisi Ngadu Tanduk di Ajang Tour de Singkarak

23 November 2019   21:39 Diperbarui: 23 November 2019   21:56 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atraksi Ngadu Tanduk. Dokpri

Dua buah tanduk yang digunakan ini diletakkan di atas bahu para pemain yakni dua pemuda yang telah menggunakan pakaian adat. 

Mereka bergerak lincah, kaki mereka silih diangkat, dan tanduk mereka diayun ke kiri ke kanan, bak kerbau yang sedang mencari lawan. Namun, gerakan mereka diperhalus dalam bentuk tarian. Sesekali kedua ujung tanduk di atas kepala mereka diadu bergantian.

Alunan musik Dap (rebana Kerinci), gung, diikuti vocal nyaro (senandung mantra) mengiringi permainan mereka. Tukang nyaro sesekali memuji para pengadu tanduk dalam prosa-prosanya, "palang indah maennyo tuan, angkat kaki mundam takirai, ayun tangan seludang jatoh" (sungguh indah permainannya tuan, kaki mereka diangkat laksana "mundam" -sejenis baskom kuno- yang digerai, tangan mereka diayun seperti seludang -pelepah pinang-yang jatuh).

Kadang tukang nyaro memperingatkan para pemain untuk menjaga keindahan permainan mereka, "jangan usak maennyo kito, kito di tengah gulanggang rami" (jangan sampai rusak permainan kita, sebab kita di tengah gelanggang ramai).

Gerakan pemain semakin cepat, begitu pula tempo musik yang mengiringi. Semakin lama memainkan tanduk justru membuat pemain semakin semangat. Mereka tak sadar bahwa keringan telah bercucuran di tubuh mereka. Namun, permainan harus diakhiri untuk sementara.  


Permainan seketika berakhir ketika pemusik menghentikan dap dan gun mereka. Begitu pula dengan tukang nyaho yang menyatakan dalam prosanya "tubuh mpuk, badanlah payah, titik peluh menganak sungai, baik berenti kito dulu, ngendam ka peluh ngusi turun" (tubuh letih badan payah, tetesan keringat sudah seperti anak sungai, ada baiknya kita berhenti dulu, untuk meredam tetesan peluh). 

Di masa lalu, Ngadu Tanduk tidak ditampilkan untuk acara-acara besar. Ia hanya berfungsi sebagai hiburan para pemuda sehabis menuai/memanen padi di sawah.

Pemain ngadu tanduk. Dokpri
Pemain ngadu tanduk. Dokpri

Kelompok pemuda-pemudi dari tiap klan umumnya bergotong royong untuk memanen padi di sawah sawah mereka. Setelah panen tersebut selesai, barulah tuo jenang (ketua pemuda) meminta salah satu pemuda dari kelompoknya mengadu tanduk dengan pemuda dari kelompok lain. 

Ujung tandukpun kemudian dipasangi pisau, disertai alunan musik dan vocal nyaro dan sorakan para penonton. Pemain tersebut dengan semangatnya mengadu tanduk milik mereka. Tentu dibarengi dengan seni gerak tubuh yang indah. Silat, tari diselingi loncatan meniru gerakan kerbau diperagakan oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun