Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketemu Benda Purbakala, Wajib Dilaporkan!

10 Maret 2018   13:22 Diperbarui: 10 Maret 2018   15:50 4264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Anak Menunjukkan Temuan Benda Purbakala berupa Emas berbentuk Bunga di Grobogan, Jawa Tengah, Diduga berkaitan dengan Kerajaan Medang. (Sumber: kebumenekspres.com)

Pada tanggal 2 April 1960, selepas hujan yang turun dengan lebatnya, Madiyono, Karsoutomo dan Amatrejo pergi menengok sawah dan akan menangkap ikan. Namun, sungguh tidak diduga, tiga orang warga dusun Nayan, Maguwoharjo, Sleman ini justru menemukan benda purbakala yang terbuat dari emas. Tiga orang tersebut menemukan sebuah wadah atau tempat seperti periuk yang terbuat dari perunggu yang terpendam di bawah lumpur di sebuah tebing sawah desa mereka.

Setelah dibuka, wadah tersebut ternyata berisi cincin, lembaran kertas emas, semacam patrem atau keris kecil, rantai dan sebuah topeng emas. Oleh mereka temuan harta karun ini dilaporkan ke Dinas Purbakala dan temuan mereka kemudian disimpan di Museum Sonobudoyo. Belakangan melalui penelitian diketahui bahwa temuan purbakala tersebut berasal dari zaman Majapahit. Secuil kisah menarik tentang penemuan benda purbakala seperti yang dilansir oleh jogja tribunnews, Agustus 2016 silam (lihat di sini).

Ada lagi kisah lain seperti yang terjadi di dusun Rantau Kapas Tuo, Batanghari, Jambi. saat seorang petani menemukan dua arca perunggu berlapis emas dari zaman Sriwijaya di pekarangan rumahnya. Oleh penemu, dua arca tersebut dilaporkan ke pemerintah dan kini disimpan di Museum Siginjei, Jambi.

Topeng Emas Yang ditemukan di Desa Nayan, Yogyakarta. Kini topeng tersebut telah hilang dicuri dari Museum Sonobudoyo. (Sumber: jogjaupdate.com)
Topeng Emas Yang ditemukan di Desa Nayan, Yogyakarta. Kini topeng tersebut telah hilang dicuri dari Museum Sonobudoyo. (Sumber: jogjaupdate.com)
Memang, dari sekian ratus juta jiwa penduduk Indonesia hanya segelintir saja yang mendapatkan sebuah "keberuntungan" menemukan benda-benda purbakala. Dan dari segelintir orang tersebut, sangat sedikit yang bersikap seperti Madiyono dkk serta seorang petani dari Jambi yaitu segera melaporkan temuannya dan secara sukarela memberikannya kepada pemerintah. 

Kebanyakan dari mereka yang menemukan benda purbakala justru enggan melaporkannya serta memilih untuk menyembunyikan dan menyimpan barang tersebut sendiri dengan berbagai alasan seperti untuk dijadikan jimat karena dianggap mempunyai kekuatan magis dan gaib. Di sisi lain, ada lagi yang dilatarbelakangi motif ekonomi, mereka menjual benda purbakala dengan harga tinggi kepada kolektor dan bahkan melakukan pencarian benda purbakala secara ilegal.

Penulis sendiri punya pengalaman menarik terhadap temuan benda purbakala yang "lambat" dilaporkan seperti kasus yang juga terjadi di Jambi. Seorang kontraktor berinisial SY tanpa sengaja menemukan 5 buah tempayan dalam tanah saat pengerjaan proyek jalan di Selatan Danau Kerinci. Olehnya, tempayan tersebut dibuka dan ditemukan benda purbakala di dalamnya yakni arca perunggu berbentuk gajah, liontin, keris yang sudah berkarat serta dua buah resin (getah) dari tumbuh-tumbuhan (diduga getah kemenyan). Sayangnya, temuan tersebut tidak dilaporkan dan disimpan sendiri oleh SY. 

Walaupun di kemudian hari SY dengan tangan terbuka menerima kedatangan saya untuk mendokumentasikan temuan tersebut, tetapi data-data penting terkait dengan benda purbakala tersebut sudah banyak yang hilang. Karena, ketika benda purbakala telah diangkat dari lokasi temuannya tanpa prosedur arkeologis, maka data terkait lingkungan dan usia dari temuan sudah pasti sulit didapatkan kembali. Padahal temuan getah kemenyan yang dijadikan bekal kubur prasejarah merupakan temuan yang sangat langka. Dan bisa jadi merupakan komoditas dari dataran tinggi Sumatra yang diperdagangkan sejak masa proto sejarah hingga masa Hindu-Buddha.

Kasus lain di tempat yang sama seperti yang terjadi pada Pak AF. Pak AF secara tidak sengaja menemukan pecahan tembikar dan benda perunggu di lahan perkebunannya. 

Namun, Pak AF dengan segera melaporkan temuannya pada instansi terkait sehingga dapat dilakukan penelitian lanjutan. Belakangan diketahui bahwa di area perkebunan Pak AF merupakan lokasi penguburan dari zaman proto-sejarah sekitar abad ke 9-10 M di dataran tinggi Jambi. Namun, Pak AF tidak menyerahkan temuan-temuan berharga itu melainkan disimpan dan dirawat sendiri olehnya. Tentu saja hal ini sangat diperbolehkan sepanjang Pak AF mampu merawat temuan itu dan terbuka untuk keperluan ilmu pengetahuan. 

Di sisi lain, ada lagi masyarakat yang secara ilegal dan sengaja mencari benda purbakala (dalam sudut pandang mereka tentu saja akan disebut sebagai harta karun). Hal ini didasari oleh motif ekonomi, kebanyakan dari mereka tidak memperdulikan nilai ilmu pengetahuan dari sebuah benda purbakala sehingga mereka menjualnya kepada para kolektor yang menawari dengan harga tinggi. Kasus seperti ini seperti yang diberitakan beberapa waktu lalu di Situs Teluk Cengal, Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Masyarakat berbondong-bondong mencari harta karun yang terbenam di lahan basah/lahan gambut di situs tersebut dan tidak jarang pula mereka menemukan benda purbakala berupa perhiasan emas. Seperti yang dilansir tempo.com 2017 yang lalu (lihat di sini).

Tidak melaporkan dan mencari secara ilegal benda purbakala dapat dikenakan sanksi pidana

Kebanyakan masyarakat mungkin tidak mengetahui akan adanya undang-undang yang mengatur tentang cagar budaya --termasuk di dalamnya temuan benda purbakala/arkeologi-- yaitu, Undang-undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. UU tersebut secara jelas memberikan sanksi pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang tidak melaporkan temuan benda purbakala maupun yang melakukan pencarian tanpa izin.

Pasal 102 misalnya berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Begitu pula dengan pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 26 ayat(4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Oleh sebab itu, ketika ada temuan benda purbakala maka haruslah segera dilaporkan pada instansi terkait seperti dinas kebudayaan setempat untuk ditindaklanjuti, serta kepada pejabat desa setempat dan instansi kepolisian untuk menjaga lokasi temuan tersebut agar tidak dijarah atau dirusak oleh orang lain, hingga kedatangan tim peneliti baik dari Balai Pelestarian Cagar Budaya maupun dari Balai Arkeologi.

Kebanyakan penemu mungkin berpikir bahwa barang temuannya akan disita oleh pemerintah sehingga ia takut melaporkannya kepada pemerintah. Padahal dari UU 11 tahun 2010 tersebut diketahui bahwa penemu dapat memiliki benda/barang temuannya dengan syarat-syarat tertentu dan bahkan memperoleh kompensasi bila barang yang ditemukannya ditetapkan sebagai cagar budaya (pasal 24). 

Penulis sendiri sangat menganjurkan penemu memberikan benda purbakala hasil temuannya segera kepada pemerintah/instansi terkait untuk dirawat agar terjaga kelestariannya dan diteliti demi kepentingan ilmu pengetahuan. Toh, benda-benda tersebut tidak akan bernilai apa-apa jika penemunya hanya menyimpannya di balik lemari kaca. 

Begitu pula dengan uang hasil penjualan benda purbakala bisa habis dalam waktu sekejap saja. Tetapi ketika benda tersebut diteliti, ilmu pengetahuan yang diungkap dari sana akan dibaca dan berguna terus menerus di masa mendatang, begitu pula ketika ia dilestarikan di museum misalnya, benda tersebut akan lebih terjamin kelestariannya dan dapat pula disaksikan oleh siapa saja dan generasi berikutnya. HF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun