Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Mempelajari Berbagai Aksara

8 Maret 2018   00:13 Diperbarui: 8 Maret 2018   08:17 1352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berbagai aksara di Indonesia (hurahura.wordpress.com)

Hujan yang mengguyur Yogyakarta sejak sore tadi hingga artikel ini diketik, seiring pula dengan berakhirnya  seminar mengenai epigrafi yang digelar oleh kampus saya sejak sehari yang lalu. Dua peristiwa ini menggiring saya untuk bercerita tentang pengalaman yang cukup menarik, sebelum saya berlayar ke pulau mimpi. Moga-moga menjadi sesuatu yang berharga pula bagi pembaca. 

Pengalaman itu adalah tentang bagaimana saya  mempelajari berbagai aksara. Cerita pengalaman ini bukan dimaksudkan untuk menyombongkan diri melainkan untuk mengajak pembaca sekalian agar lebih mencintai khazanah kebudayaan Indonesia, salah satu caranya dengan mempelajari kekayaan aksara yang digunakan oleh nenek moyang kita. 

Kebanyakan orang-orang menganggap mempelajari sesuatu haruslah melalui bangku sekolah formal, saya tidak begitu setuju dengan anggapan ini, bagi saya belajar adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Di sisi lain, manusia diberikan pilihan untuk belajar apa yang ia ingini dan kehendaki, entah itu hal yang "baik" maupun "buruk". Oleh karenanya, setiap manusia memiliki pengetahuan yang unik dengan karakternya masing-masing yang diperoleh selama proses belajarnya,  tak akan ada manusia yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang persis sama.

Mempelajari 'banyak' aksara bagi saya merupakan sebuah pengalaman unik dan menarik yang tentunya tidak dimiliki oleh semua orang. Hal ini dikarenakan sedikit sekali yang berminat akan hal ini, apalagi di era global, pembangunan yang lebih berorientasi pada unsur fisik membuat banyak orang mengabaikan sisi kebudayaan.

Aksara yang pertama kali saya pelajari adalah aksara latin. Suatu aksara tinggalan Hindia-Belanda yang terus digunakan hingga kini. Tentu saja semua kita belajar aksara ini, sehingga di bagian ini saya tak perlu memperpanjang kata.

Aksara ke dua yang saya pelajari adalah aksara Arab. Sebagai seorang muslim kampung yang hidup di pedalaman Jambi, belajar 'ugama' terutama baca tulis arab sangatlah penting. 

Soalnya setiap kegiatan peribadatan wajib yang dilakukan selalu menggunakan bahasa Arab sehingga hal ini mengharuskan seorang Muslim bisa baca tulis aksara arab, di mulai dari mengenal huruf hijaiyah, belajar melafalkan huruf (makhraj huruf), ilmu tajwid hingga mampu membaca tulisan arab dengan baik dan benar terutama teks Alqur'an. Semua pelajaran inj saya dapatkan di luar pendidikan formal, atau lebih tepatnya pendidikan tradisional di kampung-kampung. 

Tahun 1990-an suasana pendidikan Islam tradisional masih saya rasakan di pedalaman Jambi. Saya dan teman2 yang saat itu masih berusia sekitar 5-6 tahun pergi berguru ke rumah2 ulama kampung dengan bayaran dua tekong beras yang dibayarkan seminggu sekali. Kadangkala disertai dongkol hati karena menyita waktu bermain dan dipaksa orangtua. 

Pelajaran tentang aksara Arab terus berlanjut hingga tingkat SMA. Kebetulan saya melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah tetapi jurusannya sains, namun jurusan sains yang saya pilih tak lantas mematikan langkah saya untuk mempelajari hal-hal lain di luar sains. Bahkan di sini saya belajar lebih banyak ilmu terutama ilmu bahasa arab (Lughatul 'Arabiyah) dan ilmu nahwu sharf. Walaupun pengetahuan yang saya miliki masih sangat terbatas.

Aksara ke tiga yang saya pelajari adalah aksara Jawi disebut pula dengan sebutan aksara Arab-Melayu atau Arab-Pegon. Aksara ini berasal dari huruf hijaiyah yang diadaptasi sesuai dengan bahasa yang digunakan di Nusantara. Aksara ini telah digunakan sejak masa Kesultanan Islam di Indonesia sekitar abad ke 16 M. 

Saya belajar aksara ini, di luar bangku sekolah. Pengenalan pertama terhadap aksara ini, ketika saya masih duduk di bangku kelas 3 SD. Tiap sore sepulang sekolah, guru mengaji menyediakan sesi baca tulis Arab Melayu, kami disuruh menulis tiap kata atau frasa yang beliau ucapkan dan kemudian satu persatu kami menuliskannya di papan tulis. Padahal saat itu, aksara Jawi sama sekali tidak digunakan lagi. 

Kemampuan membaca dan menulis aksara Jawi semakin terasah ketika saya menyenangi membaca buku-buku 'kuno' tinggalan kakek saya yang ditulis/dicetak dengan aksara Jawi berbahasa Melayu/Indonesia.

Saya masih ingat judul-judul buku tersebut seperti Kitab Tajul Mulk, Kitab Perukunan, Kitab Qishatul Anbiya (Kisah Para Nabi), dan kitab Kitab Sir Assaalakin fi Thariqat Assaadaat Asshufiyyah karya Syaikh Abdusshomad Al Palimbani walaupun saya tidak memahami isinya, tetapi saya menikmati membaca kata perkata huruf jawi yang tertera di dalamnya.

Aksara ke empat yang saya pelajari adalah aksara incung yang lazim disebut surat incung. Aksara ini merupakan turunan aksara pallawa yang berkembang secara lokal khususnya di Jambi. Saya belajar aksara ini sejak duduk di bangku kelas I SMP secara otodidak berbekal sebuah makalah yang diketik tahun 1992 berjudul "aksara Incung Jambi: membaca dan menulis" dan makalah inipun saya temukan secara tidak sengaja dari tumpukan buku lama yang hendak dibuang. 

Makalah tersebut berisi daftar konsonan dan cara menulis berbagai bentuk kata dalam aksara Incung. Setelah paham benar, saya mencoba mengalihaksarakan sebuah salinan teks kuno bersumber dari naskah surat incung asli yang dilampirkan di bagian awal makalah. Bertahun-tahun kemudian, setelah kemunculan internet saya menemukan adanya alihaksara terhadap teks naskah yang sama oleh peneliti tahun 1941 M dan ternyata sama persis apa yang telah saya buat dulunya.  

Berkat pengetahuan akan aksara ini saya telah mengalihaksarakan dua naskah kuno beraksara incung yang disimpan di Museum Jambi, dan hasilnya telah diseminarkan dalam seminar internasional pernaskahan Nusantara yang digelar tahun kemarin di Surakarta. 

Aksara ke lima yang saya pelajari adalah aksara pasca pallawa yang berkembang di Sumatra khususnya yang digunakan dalam teks naskah kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Awalnya, saya mempelajari aksara ini secara otodidak dengan mengidentifikasi teks naskah dengan hasil alihaksara, ditambah pula dengan pengetahuan menulis aksara incung membantu saya dalam memahami cara menulis dan membaca aksara ini, soalnya kaidah penulisannya tidak jauh berbeda, hanya perbedaan bentuk huruf, sandangan dan pasangannya saja. Pengetahuan tentang aksara Sumatra kuno ini makin terasah dan terus saya perdalam hingga kini melalui berbagai seminar yang telah dan yang akan saya ikuti. 

Pengakhir kata,  bahwa belajar bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun tanpa harus melalui sekolah formal, namun itu semua tergantung kita sendiri, punya niat dan keinginan untuk belajar ataupun tidak. Keinginan yang kuat mendorong manusia berusaha untuk mencapai apa yang ia ingini, sebaliknya tidak ada niat, tidak akan membuat seseorang melakukan apapun.  Sayangnya, niat dan ingin tiap orang berbeda-beda pula. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun