Mohon tunggu...
Hafidz Sastro Amijoyo
Hafidz Sastro Amijoyo Mohon Tunggu... -

Anak muda, penikmat kopi, mahasiswa, penggemar musik dari jazz sampai murotal, tertarik dengan dunia pemikiran, berorientasi mencari ilmu guna mewujudkan masyarakat seimbang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk Apa?

28 Oktober 2015   01:44 Diperbarui: 28 Oktober 2015   02:42 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bunyi gesekan yang khas antara roda besi dan jalan besi yang sejajar mengiringi perjalananku, sesekali memejamkan mata dalam bangku tegak 90’. Tersenyum kecil melihat bocah laki-laki umur 5 tahun dengan potongan rambut seperti mangkuk terbalik memejamkan mata didepanku dengan mulut terbuka dan hembusan nafas yang mirip dengan katak dimalam hari, isengku mulai terpacu dengan mengambil benda putih berkamera lalu dengan sangat perlahan kuambil moment langka tersebut.

Menikmati alunan musik bengawan solo cover jazz yang berasal dari kabel yang tersambung dari benda kecil putih kelubang telinga, entah apa terlintas dibenakku aku berpikir ulang dan berulang, selalu saja diriku bertanya “Untuk apa ?” hingga pandanganku teralih ke arah pepohonan diluar jendela,. Habislah barisan pepohonan yang sedari tadi menjadi objek pengalihanku.

Belum sempat selesai perdebatan pertanyaan dalam diriku terdengar suara lirih dari bocah kecil dengan rambut seperti mangkok terbalik yang berada tepat didepanku "mah itu siapa dan sedang apa dia ?" ucapnya kepada ibunya yang sedari tadi ikut tertidur disebelahnya sambil menunjuk ke arah jendela, "dia pak tani nak dan dia sedang menanam padi" ibunya menjawab pertanyaan dari anaknya. "untuk apa pak tani menanam padi mah ?" tanya si bocah lagi. "supaya nanti padinya kalau sudah tumbuh bisa diambil dan dimakan oleh kita, kan adek kalo sarapan pake nasi yang dari pak tani itu looh" sambil menjawab sambil menunjuk pak tani keluar arah jendela.

Tidak lama kemudian hamparan sawah usai terpampanglah bangunan tempat menuntut ilmu. Muncul lagi pertanyaan dari si bocah tadi "mah mereka mau apa rame-rame membawa tas gendong dan pake baju yang sama ?" tanya si bocah dengan polosnya, "mereka mau sekolah nak, nanti kalau kamu sudah besar kamu juga akan sekolah seperti mereka, punya banyak teman, bisa pinter nanti kalau pinter bisa jadi apa saja" jawab ibunya dibarengi dengan kecupan dikeningnya.

Percakapan kecil yang mungkin terdengar biasa dan hanyalah bualan anak kecil yang ingin tahu. Tidak bagiku yang menangkap dari obrolan bocah dan ibunya. Pertanyaan bocah tadi justru berlanjut di benaku menjadi pertanyaan pertanyaan yang menurutku jika ditarik jauh ke arah paling dasar inilah yang selama ini saya pertanyakan pula. Petani bekerja keras untuk mendapatkan kehidupan yang layak dari hasail panen, jika hidup layak telah tercapai tidak bisa dipungkiri bahwasanya kebahagiaan pasti ada. Anak sekolah melangkahkan kakinya dari mulai sang surya menanmpakan diri hingga akan menuju ke tempat persembunyiannya tidak lain hanya untuk mencari ilmu agar kelak cita-citanya bisa diraih sehingga kehidupan yang layak pun didapat, disadari dan tidak bisa dipungkiri bahwa kebahagian lagi yang akan dituju.

Tidak ada manusia yang tidak ingin mendapatkan kebahagian, semua manusia pasti memiliki keinginan yang sama. Akan tetapi untuk membayar kebahagiaan tentunya membutuhkan biaya yang harus didapatkan tidak dengan hanya berpangku tangan, pasti dengan keluarnya keringat bahkan darah kalau perlu. Sungguh pengorbanan yang besar tidak lain hanya untuk mendapatkan kebahagian. Akan tetapi seberapa lama kah kebahagiaan yang telah didapat dibandingkan dengan proses pengorbanan yang dikeluarkan ?.

Lalu apakah ada kebahagiaan yang disana tidak akan hilang ?. Dalam makan pun perlu pengorbanan mulai dari mencari uang untuk membeli, mencari tempat makan bersaing dengan manusia yang memiliki tujuan makan yang sama dan seketika telah didapat makanan hilang sudah kebahagiaan setelah beberapa menit melahap makanan tersebut. Ayolaah, pasti tau berapa lama mencari uang tersebut dengan berapa lama setelah makan itu selesai.

Dimana letak keabadian kebahagiaan makan ? dan juga dimana letak kebahagiaan abadi dari kebahagian kebahagiaan yang lain ?. Kembali kepada pertanyaan dalam benakku "Untuk apa ? untuk apa kita hidup ? jika mencari kabahagiaan tetapi itu hanyalah sementara dan jika mencari yang abadi apakah ada dan seperti apa cara mendapatkannya ? Untuk apa ?. Ya, inilah yang selama ini ingin saya cari. ku tapakan kaki di negeri orang untuk mencari jawaban tersebut dan kisahku barulah dimulai. (next)

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun