Berbicara mengenai sejarah jalur trem di Tulungagung dan Trenggalek, tidak banyak orang - khususnya warga Tulungagung dan Trenggalek - yang tahu akan keberadaan bekas jalur trem di area tersebut mengingat sisa-sisa peninggalannya yang kini nyaris hilang. Keberadaaan eks-jalur trem Tulungagung - Trenggalek - Tugu sangat jarang sekali disinggung di ruang publik mengingat tidak ada publikasi resmi serta referensinya yang sangat minim sekali. Keberadaan eks-jalur tersebut hanya sedikit diperbincangkan di kalangan internal penggiat sejarah kereta api (railfans). Jika ditelisik lebih lanjut, narasi eks-jalur trem Tulungagung - Trenggalek sangat menarik diperbincangkan karena dulunya pernah memiliki peran penting dalam mobilitas manusia serta mobilitas angkutan hasil bumi yang berupa pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
Â
Sejarah Jalur Trem Tulungagung - Trenggalek -- Tugu
Sejarah jalur trem Tulungagung - Trenggalek tidak bisa dipisahkan dari pembangunan jalur kereta api di Jawa Timur yang diinisasi oleh Staatsspoorwegen (Perusahaan Kereta Api Negara Hindia Belanda). Sebelum dibangun, sebuah tim dari perusahaan tersebut melakukan survei lapangan yang dilaksanakan pada tahun 1881 dan dilanjutkan kembali pada tahun 1885 dengan cakupan wilayah Tulungagung hingga Ponorogo dan Madiun. Pelaksanaan survei juga dibarengi dengan permintaan konsesi dari beberapa investor swasta Eropa yang menginginkan kepemilikan jalur tersebut. Beberapa investor seperti J. M. Langeveld, Van Ryckovorsel, hingga W. J. Giel rata-rata menginginkan konsensi jalur dari Tulungagung tersambung hingga Ponorogo sampai dengan Solo dan Yogyakarta. Pada akhirnya permintaan konsesi berjalan alot karena hampir semua proposal yang diajukan ditolak oleh pemerintah. Penolakan tersebut didasarkan pada kesulitan medan di rute Trenggalek - Ponorogo yang dimana harus membelah pegunungan. Karena rute tersebut melewati pegunungan maka para investor harus menyiapkan anggaran yang sangat besar. Oleh karena itu pemerintah kolonial menganggap rute Tulungagung - Trenggalek - Ponorogo tidak potensial untuk digarap.
Tanggal 15 Desember 1915, seorang kepala teknisi sementara SS bernama F. A. Roeflosen mengajukan rancangan awal jalur trem Tulungagung - Trenggalek dengan memilih daerah Tugu sebagai terminus (titik akhir) dari jalur tersebut dengan mempertimbangkan untuk membangun jalur cabang dari Jetis ke Sawo agar Trenggalek dan Ponorogo bisa tersambung. Setelah melalui diskusi yang panjang antara SS dan BOW (Dinas Pekerjaan Umum Hindia Belanda), maka akhirnya pemerintah menyepakati rancangan tersebut dengan menerbitkan Staatsblad No. 312 tahun 1919.
Biaya pembangunan jalur trem memakan dana f 1.893.000 dengan total panjang 48 km. Adapun rutenya adalah Tulungagung, Beji, Boyolangu, Pojok, Pelem, Campurdarat, Duwet, Bandung, Bulus, Kedunglurah, Bendo, Ngetal, Ngepoh, Trenggalek, Nglongsor, Winong, dan berakhir di Tugu. Khusus untuk Tugu, secara geografis jarak antara Tugu dan Slahung adalah 17 km yang dibatasi oleh pegunungan. Untuk menyambung kedua daerah tersebut maka harus membelah pegunungan tersebut dan kemungkinan memakan biaya f 6.000.000. Karena mahalnya biaya tersebut maka Tugu dan Slahung tidak jadi disambungkan dan Tugu diputuskan menjadi terminus (titik akhir) dari lintas tersebut.
Pembangunan jalur trem terbagi menjadi tiga segmen waktu. Segmen pertama meliputi rute Tulungagung - Boyolangu - Campurdarat dengan panjang rute 14 km yang dibuka pada tahun 1921. Setahun kemudian dibuka jalur Campurdarat sampai dengan Trenggalek dengan panjang 25 km. Kemudian tanggal 3 Januari 1923 jalur Trenggalek - Tugu dengan panjang 9 km resmi dibuka. Lebar jalur (gauge) yang digunakan adalah tipe standar dengan lebar 1.067 mm. Dengan selesainya tahap ketiga maka secara resmi jalur Tulungagung hingga Tugu mulai tersambung.
Dalam layanan jadwalnya, terdapat 6 (enam) jadwal trem Tulungagung - Trenggalek - Tugu maupun sebaliknya dengan nomor yang berbeda-beda. Jika dari arah Tulungagung terdapat nomor 211, 201, 203, 205, 207 dan 209. Sedangkan jika dari arah Tugu juga terdapat enam nomor kereta yakni 200, 202, 204, 206, 208 dan 210. Jarak tempuh dari Tulungagung menuju Tugu maupun sebaliknya berkisar 3 jam karena faktor kecepatan yang hanya berkisar 30-40 km/jam serta waktu pemberhentian lama yang terjadi di stasiun Trenggalek dan stasiun terminus. Berbeda dengan kereta api atau trem pada umumnya, layanan trem Tulungagung - Trenggalek - Tugu hanya memiliki layanan kelas 2 dan 3 saja, selebihnya sama seperti lainnya, trem ini juga memiliki gerbong barang. Layanan kelas dua digunakan untuk kalangan menengah non-pribumi, sedangkan untuk kelas tiga digunakan oleh pribumi. Sedangkan untuk gerbong barang digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti marmer, batu kapur, hasil pertanian dan perkebunan serta hasil kerajinan berupa gerabah, batik, kerajian bordir emas, perak dan sebagainya.
Layanan trem Tulungagung - Trenggalek - Tugu mulai memudar seiring dengan krisis ekonomi global yang dimulai tahun 1929. Hal tersebut ditandai dengan penghapusan delapan nomor kereta di tahun 1931. Selain itu permasalahan lain seperti jalur rel yang rusak karena terkena banjir dan persaingan dengan kendaraan roda empat seperti bus membuat Staatsspoorwegen mengambil langkah rasionalisasi untuk menyelamatkan finansial perusahaan. Salah satunya adalah menutup jalur cabang yang dinilai tidak bisa dipertahankan yang dimana jalur Tulungagung - Trenggalek - Tugu merupakan salah satu lintas yang ditutup. Pada akhirnya jalur tersebut secara resmi ditutup pada tanggal 1 November 1932 setelah melalui survei lapangan oleh tim inspeksi Staatsspoorwegen Oosterlijnen.