Mohon tunggu...
Haedar Ardi Aqsha
Haedar Ardi Aqsha Mohon Tunggu... PNS di Badan Pusat Statistik -

Statistisi, Writer, Treveller follow me : Blog : haedarardi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Urgensi Revolusi Industri 4.0

24 September 2018   11:04 Diperbarui: 24 September 2018   16:14 909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Perekonomian Indonesia sedang kurang sehat. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turun sekitar 8% selama tahun 2018 menyebabkan nyaris menembus level 15.000 rupiah per dollar. Selain diakibatkan oleh faktor eksternal, salah satu penyebab yang memperparah kondisi ini adalah defisit transaksi berjalan atau Current Accaunt Defisit (CAD) yang semakin melebar. Bank Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan hingga kuartal II tahun 2018 mencapai 8 milyar dolar AS atau 3% dari PDB.

Kondisi defisit transaksi berjalan yang semakin dalam membuat cadangan devisa semakin terkikis. Data terakhir menyebutkan bahwa cadangan devisa Indonesia di akhir bulan Agustus 2018 berada dikisaran 117,9 milyar dolar AS. Jumlah tersebut mengalami penurunan yang sangat tajam jika dibandingkan dengan kondisi awal tahun 2018 yang masih dikisaran 131,98 milyar dolar AS

Kinerja perdagangan internasional yang kurang memuaskan merupakan salah satu sumber masalahnya. Selama tahun 2018, tercatat sudah 5 kali neraca perdagangan bulanan Indonesia mengalami defisit. Secara keseluruhan, dari bulan Januari hingga Agustus 2018 defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai 4,086 milyar dolar AS.

Melonjaknya impor nonmigas patut menjadi sorotan. Pasalnya selama periode Januari hingga Agustus 2018 pertumbuhan impor sektor nonmigas terbilang cukup agresif, mencapai 24,52% dibanding periode yang sama tahun 2017. Pertumbuhannyapun merata disemua golongan penggunaan barang, baik itu barang konsumsi (27,38%), bahan baku/penolong (23,24%), maupun barang modal (29,24%).

Melihat situasi neraca perdagangan yang tidak kunjung membaik, pemerintahpun tidak tinggal diam. Berbagai kebijakan telah digodog guna menahan laju defisitnya neraca perdagangan, diantaranya adalah kebijakan biodisel 20% (B20), kebijakan menaikkan tarif PPh barang impor untuk 1147 komoditas, penundaan beberapa proyek infrastruktur yang menggunakan banyak bahan impor, hingga subsidi ekspor.

Industri Lesu

Membanjirnya barang-barang impor terutamanya bahan baku/penolong dan barang modal perlu dipertanyakan. Meskipun pertumbuhan kelompok barang tersebut sangat agresif, namun semua itu tidak mampu untuk memompa produktivitas industri tanah air. Hal itu dapat dilihat dari kurang memuaskannya pertumbuhan sektor industri selama kurun waktu semester pertama tahun 2018. BPS mencatat disemester tersebut pertumbuhan sektor industri pengolahan hanya berada dikisaran 4,26% (c to c), jauh berada dibawah laju pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,17%. (c to c).

Lesunya kinerja industri pengolahan merembet ke kinerja ekspor. Hal tersebut dapat dibuktikan selama kurun waktu semester pertama tahun 2018 ini, pertumbuhan ekspor produk industri pengolahan hanya tumbun 6,8% jika dibandingkan periode yang sama ditahun 2017 silam, jauh dibawah pertumbuhan impor bahan baku/penolong. 

Jika ditengok jauh kebelakang, performa ekspor industri pengolahan juga dapat dikatakan kurang memuaskan. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan nilai ekspor produk industri pengolahan hanya sekitar 1,72% pertahunnya.

Selain karena dipengaruhi lesunya aktivitas industri dalam negeri, seretnya pertumbuhan ekspor industri pengolahan tidak terlepas dari kurangnya variasi produk barang yang diekspor. Sektor industri pengolahan yang selama ini menjadi tumpuan ekspor Indonesia masih bergantung kepada ekspor komoditas hasil kelapa sawit. Padahal harga pasar komoditas tersebut sangat fluktuatif dan berniai tambah minim. Sedangkan komoditas lain yang mempunyai nilai tambah lebih seperti tekstil, bahan kimia, hingga kendaraan bermotor cenderung mengalami stagnasi.

Industri 4.0

Meningkatkan kapasitas sektor industri merupakan salah satu jalan keluar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan kinerja ekspor. Oleh karena itu, diawal bulan Maret silam pemerintah meluncurkan program Making Indonesia 4.0 yang digadang-gadang mampu meningkatkan produktivitas industri tanah air. Program ini merupakan sebuah peta jalan Indonesia dalam menghadapi era Revolusi Industri 4.0.

Revolusi industri keempat atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 merupakan transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di dunia industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan teknologi konvensional. 

Dalam buku The Fourth Industrial Revolution yang ditulis oleh Profesor Klaus Schwab menyatakan bahwa revolusi industri keempat mampu mengubah cara hidup, bekerja, dan berhubungan antar manusia. Dengan pemanfaatan teknologi tinggi seperti halnya artificial intelligence, advance robot, dan internet of things diprediksi mampu menjadikan proses produksi menjadi lebih efisien dan murah.

Beberapa negara telah meluncurkan program serupa terlebih dahulu, seperti Jerman, India, Jepang, maupun Thailand. Seakan-akan sekarang ini dunia berlomba-lomba untuk meningkatkan kapasitas industri mereka. Persaingan dunia industri yang ketat membuat setiap negara harus cepat tanggap menyikapi setiap perkembangan yang ada.

Tidak terelakkan lagi jika sektor industri pengolahan merupakan tulang punggung perekonomian hampir di semua negara. Berbagai keunggulan seperti memberikan nilai tambah yang lebih besar daripada sektor-sektor lain, mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, serta dapat dibangun dimana saja sesuai dengan potensi daerah, membuat setiap negara berlomba-lomba untuk memperkuat sektor industri pengolahan mereka.

Untuk meningkatkan daya saing industri dikancah internasional, pemerintah telah menetapkan lima sektor yang menjadi fokus pemerintah dalam penerapan Revolusi Industri 4.0, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, kimia, dan elektronik. Pemilihan kelima sektor tersebut untuk menjadi prioritas penerapan Revolusi Industri 4.0 bukan tanpa alasan. Sejauh ini kelima sektor tersebut merupakan sektor andalan Indonesia dalam menopang aktivitas ekspor.

Namun, untuk menuju ke era revolusi industri 4.0 masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Mempersiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) merupakan tantangan terbesar yang harus segera diselesaikan sebelum arus revolusi industri keempat benar-benar datang dengan kekuatannya yang luar biasa. Pemerintahpun menargetkan ditahun 2030 nanti, Indonesia masuk 10 besar negara dengan perekonomian terbesar dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun