Mohon tunggu...
Hadiyan
Hadiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Minat pada Studi Islam dan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Ketupat Idul Fitri

20 April 2023   05:53 Diperbarui: 20 April 2023   12:27 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketupat yang biasa menjadi makanan ciri khas tiap kali perayaan Idul Fitri, memiliki makna filosofis yang mendalam. Ada lima makna yang terkandung dari simbol makanan ketupat tersebut. Kelima makna ini seyogyanya tercermin dalam kehidupan pribadi setiap muslim. 

Pertama, ketupat itu padat isinya. ini menandakan bahwa seorang muslim harus bertambah padat keberagamaannya sesudah bulan Ramadan yang telah 'mendidiknya' dengan beragam aktivitas keberagamaan baik secara individual, seperti shalat tarawih, tadarus, maupun sosial seperti berinfak, bersedekah, berzakat. 

Perjuangan dalam memadatkan keberagamaan ini, sesungguhnya tidak terhenti dengan berakhirnya Ramadan, tetapi terus berlangsung pada 11 bulan sesudahnya. Ibadah dalam dimensi individual dan ranah sosial dalam 11 bulan ini, semakin bertambah baik secara kuantitas, maupun kualitas.

Kedua, ketupat itu saling terjalin janurnya. ini memberikan hikmah urgensinya prinsip kebersamaan, solidaritas, dan kesadaran sebagai sebuah entitias umat yang satu dan utuh. 

Prinsip ini bertentangan 180 derajat dengan sikap ingin menang sendiri karena pemahaman keagamaan yang sempit. Mendahulukan adanya kesamaan, dan bukan menonjolkan perbedaan, meniscayakan keterjalinan antar umat supaya kuat 'seperti' ketupat.

Ketiga, membuat ketupat itu membutuhkan ketekunan. Ini mengajarkan segala sesuatu memerlukan proses, tidak sekaligus jadi. Nurcholish Madjid (alm), mengatakan bahwa firman Allah kun fa yakun dalam ayat 82 surat Yasin (36), khususnya pada kata yakun yang merupakan bentuk kata kerjasekarang dan yang akan datang (fi’l mudari) itu, mengajarkan tentang adanya proses menjadi sesuatu. Beliau mencontohkan bahwa menjadi orang yang bertakwa dan berilmu itu perlu proses, tidak bisa sim sa labim. Kesadaran adanya hukum proses ini, menjadikan umat Islam terus berusaha dan berupaya keras menjadi umat yang terbaik.

Keempat, ketupat itu mengajarkan 'merasa diri lepat',  yaitu merasa bersalah jika memang terbukti bersalah. Lepat dalam hal ini berarti 'salah'. Bersikap merasa masih banyak kesalahan yang dilakukan dalam hidup ini, menjadikan seorang muslim terus melakukan perbaikan dirinya. Perasaan ini sangat penting dimiliki, ketika seseorang diberikan suatu amanah yang berdampak luas kepada khalayak. 

Kelima, ketupat itu biasanya dihidangkan dengan lauk lainnya, semisal opor ayam, daging, atau bahkan semur tahu atau tempe, dll. Hambar rasanya makan ketupat tanpa lauk lainnya ini. Filosofi ini, mengajarkan bahwa ada seorang pemimpin, ada juga yang dipimpin. 

Keduanya harus ada dan bekerjasama dalam rangka menghasilkan cita rasa kehidupan berbangsa dan bernegara yang prima. Betapa hambarnya pemimpin yang tidak lagi legitimate di hadapan rakyatnya, karena kata-kata pengarahannya tidak lagi 'bertuah', dan betapa sengsaranya sekelompok rakyat tanpa pemimpin, karena ketiadaan perekatnya.

Wallahu a’lam.. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun