Jomlo adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak memiliki pasangan, baik karena pilihan maupun keadaan. Dalam masyarakat kita, jomlo sering kali dipandang sebagai sesuatu yang negatif, seolah-olah seseorang yang masih sendiri berarti kurang menarik, tidak laku, atau bahkan patut dikasihani. Tidak jarang, orang-orang yang memilih untuk tetap jomlo harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang bernada menyindir, seperti "Kapan nikah?" atau "Kok masih sendiri aja?"
Padahal, tidak semua orang yang jomlo berada dalam kondisi yang menyedihkan. Banyak yang memilih untuk tidak menjalin hubungan karena alasan tertentu, baik itu ekonomi, pendidikan, prinsip hidup, atau keyakinan agama. Sayangnya, tekanan sosial sering kali membuat orang merasa bahwa memiliki pasangan adalah suatu keharusan, bukan pilihan yang bisa diambil secara sadar.
Di masa muda, aku memilih untuk tetap jomlo hingga usia 25 tahun. Hingga pada usia itu aku siap membangun mahligai pernikahan. Aku memutuskan untuk jomlo alias tidak pacaran sebelum menikah. Itu adalah pilihan, bukan keadaan yang memaksaku. Banyak orang menganggap jomlo sebagai sesuatu yang menyedihkan atau bahkan menyakitkan. Padahal, bagiku, jomlo adalah keputusan yang penuh kesadaran dan pertimbangan. Ada banyak alasan mengapa aku memilih untuk tetap sendiri dalam periode penting kehidupanku.
1. Faktor Ekonomi: Hidup Butuh Realita
Saat kuliah, jangankan memikirkan punya pasangan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja terkadang sulit. Aku berasal dari keluarga biasa saja, bukan dari golongan orang kaya yang bisa hidup santai tanpa memikirkan uang. Setiap bulan, aku harus memutar otak agar uang kiriman dari orang tua cukup untuk makan, membayar kos, dan kebutuhan kuliah lainnya. Dalam kondisi seperti itu, rasanya tidak adil jika aku memaksakan diri untuk berpacaran. Bukankah dalam hubungan juga ada tanggung jawab finansial? Hehehe
Pacaran membutuhkan biaya, mulai dari traktiran, hadiah ulang tahun, hingga sekadar jalan-jalan. Aku melihat banyak teman yang mengeluh karena harus menguras dompet demi membahagiakan pasangan. Aku tidak mau terjebak dalam situasi seperti itu. Lebih baik aku fokus menata masa depan daripada sibuk mengkhawatirkan hal-hal yang masih belum belum terlalu penting.
2. Fokus Menyelesaikan Kuliah
Bagiku, kuliah adalah prioritas utama. Orang tuaku bekerja keras untuk membiayai pendidikanku, dan aku sadar bahwa aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku sering melihat teman-teman yang semangat kuliahnya memudar setelah pacaran. Ada yang nilai akademiknya turun, ada yang mulai malas masuk kelas, bahkan ada yang putus kuliah gara-gara terlalu sibuk dengan urusan asmara.Â
Aku tidak mau mengalami hal yang sama. Aku ingin menyelesaikan kuliah tepat waktu agar tidak memberatkan ortu.Â
3. Menghindari Buang-Buang Waktu
Pacaran sering kali lebih banyak menguras waktu daripada yang kita sadari. Mulai dari kewajiban ngapel, kewajiban antar jemput, bantuin tugas pasangan, hingga waktu yang dihabiskan untuk bertemu dan jalan-jalan. Aku melihat bagaimana teman-temanku menghabiskan waktu begitu banyak untuk pacar mereka. Sementara itu, aku lebih memilih mengisi waktu luang dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti mengikuti organisasi, atau sekadar memperdalam ilmu agama.
Banyak orang berdalih bahwa pacaran adalah tahap pengenalan sebelum menikah. Tapi aku melihatnya berbeda. Pengenalan macam apa yang dilakukan dalam pacaran? Kebanyakan hanya diisi dengan kesenangan sesaat, tanpa ada komitmen yang jelas. Kalau memang serius ingin mengenal seseorang, ada cara yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab daripada pacaran.
4. Prinsip Agama: Larangan Pacaran
Sebagai seorang Muslim, aku berpegang teguh pada ajaran agamaku. Islam dengan jelas melarang pacaran karena itu adalah jalan menuju zina. Allah bahkan berfirman dalam Al-Qur'an agar kita tidak mendekati zina. Jika mendekatinya saja dilarang, bagaimana mungkin pacaran bisa dibenarkan?