Mohon tunggu...
Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq Mohon Tunggu... Editor - Editor dan penulis

Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pancasila antara Idealitas dan Realitas

15 Juni 2020   16:55 Diperbarui: 15 Juni 2020   17:00 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di awal-awal masa mempertahankan kemerdekaan---setelah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dan keesokan harinya Pancasila dinyatakan resmi sebagai dasar negara---lima "mantra" ini masih cukup ampuh mempersatukan gerakan (elite-elite) bangsa. Perbedaan-perbedaan di kalangan para pemimpin bangsa kala itu mengendap demi eksistensi Republik Indonesia (RI).

Namun rupanya hal itu berlangsung hanya sementara, karena kita masih dalam masa revolusi fisik, menghadapi musuh bersama: Belanda yang melancarkan agresi untuk kembali menguasai negeri ini, dan sempat memecah-belah bangsa sehingga untuk beberapa waktu sebagian wilayah RI dikotak-kotakkan menjadi negara-negara serikat.

Walhasil, dengan kekuatan persatuan, melalui gerakan Mosi Integral Natsir, kita mampu mengatasinya. Negeri penjajah itu pun akhirnya mengakui secara resmi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mulai tahun 1950-an, ideologi Pancasila dihadapkan pada tantangan-tantangan. Masing-masing sila dari ideologi-falsafah bangsa ini kerap digunakan sebagai alat politik untuk "saling menikam" antarkelompok aliran kebangsaan. Konflik-konflik kepentingan beraroma ideologis-politis terus menghantui peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Sirkulasi kepemimpinan nasional cenderung tak berkelanjutan dengan kebijakan-kebijakan yang inkonsisten.

Setelah berhasil kembali menjadi NKRI---sebelumnya sempat menjadi negara federasi yang beranggotakan enam belas negara bagian dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS)---kegamangan mewarnai langkah Republik. Konstitusi RIS 1949 masih diadopsi dengan "amandemen resmi" menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (diberlakukan mulai 15 Agustus 1950) untuk menjalankan roda pemerintahan.

Sebagai catatan: rumusan Pancasila versi Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 ialah: (1) Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa, (2) Peri kemanusiaan, (3) Kebangsaan, (4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan versi ini tampak lebih sederhana, namun dalam proses aktualisasinya menimbulkan konsekuensi tak sederhana.

Dengan UUDS 1950, sistem parlementer diterapkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Alhasil, Republik mengalami semacam turbulensi politik. Konflik-konflik kepentingan antarkekuatan berlatar ideologi tak terkelola dengan baik. Kabinet-Kabinet yang mengelola penerintahan tak ada yang berumur panjang. Pemilu 1955 pun "tak berhasil" meredakan situasi. Majelis Konstituante hasil Pemilu 1955 gagal menyepakati UUD baru.

Mengomentari situasi tersebut, M.C. Ricklefs berpendapat bahwa "sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan" (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005, hal. 471).

Situasi kemudian beralih dengan keluarnya Dekrit Presiden Soekarno, tanggal 5 Juli 1959. Dekrit ini menetapkan pembubaran Konstituante, UUD 1945 berlaku lagi, dan UUDS 1950 ditetapkan tidak berlaku.

Meski demikian tak membuat Republik tenang. Krisis demi krisis terus berulang. Presiden Soekarno menerapkan apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Demokrasi ala Soekarno ini menuai kontroversi, yang berujung timbulnya krisis ideologis. Aliran komunisme menguat, dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh pemerintahan.

Krisis 1965 mengakhiri era Soekarno lalu melahirkan era Soeharto. Merupakan sebuah ironi, kepemimpinan tokoh Proklamasi dan pencetus istilah Pancasila ini berakhir tak menyenangkan---untuk tidak menyebutnya "tragis." Ia seakan "ditikam" oleh apa yang dicetuskannya; peristiwa kejatuhannya itu ditahbiskan sebagai tahun Kesaktian Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun