Mohon tunggu...
Fauzan Hadi
Fauzan Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Study on Going

Mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta, Kader Pemikir Islam Indonesia LSAF Univ. Paramadina, Anggota MWC NU Batukliang, dan Pemerhati Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Syara' di Atas Moralitas; Self Awarness di Ruang Publik

4 Januari 2023   08:27 Diperbarui: 4 Januari 2023   08:30 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah telah menggambarkan bagaimana Islam dalam posisinya sebagai agama yang menjunjung tinggi moralitas (itmamul khuluq) sebagaimana yang dicontohkan nabi Muhammad Saw, telah menjadi bagian penting dalam pembangunan image (kesan dan persepsi) manusia terhadap agama yang mulia ini. Bukankah kita telah sama-sama mengetahui bagaimana moralitas Islam ini telah menjadi semacam soft-power yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah penyebaran Islam di seluruh dunia?

Akhlak Rasulullah Saw adalah gambaran yang paling jelas dan sahih dari bentuk humanisme yang tidak dikotak-kotakkan oleh perbedaan agama, apalagi suku, ras dan golongan. Lihatlah bagaimana beliau pernah seketika tiba-tiba beranjak berdiri dari tempat duduknya ketika di hadapan beliau melintas jenazah seorang non-muslim. Sikap ini adalah bentuk penghormatan kepada non-muslim tersebut meskipun ia telah meninggal. Lihatlah pula bagaimana penegakan syariat Islam dalam arti pemberlakuan hukum Islam di Madinah dahulu dapat dilakukan dengan sempurna karena masyarakat Madinah yang dipimpin Rasulullah Saw benar-benar menjadikan moralitas ini sebagai landasan dari penegakan syariat Islam tersebut. Rasulullah Saw didalam kepemimpinannya senantiasa mengutamakan pemecahan masalah dengan pendekatan sosio-kultural dibandingkan sanksi-sanksi hukum yang bersifat formal.

Dengan demikian, Hukum Islam pun tetap tegak, namun sejarah menggambarkan sanksi hukum dalam Islam cukup berat, maka penerapannya pun haruslah melalui syarat-syarat yang sangat berat juga. Seperti yang pernah dilakukan oleh Umar ibn Khatthab dalam menangguhkan dan membekukan hukum potong tangan bagi para pencuri selama tiga tahun terjadinya musim pacekelik. Alasannya karena pada waktu itu masyarakat sedang mengalami musibah kelaparan yang sangat parah. Maka dari pengalaman Nabi Muhammad Saw dan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut, dapat kita mengambil suatu kesimpulan bahwa syariat Islam yang ditegakkan dalam negara yang dipimpinnya bukan hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk membangun sebuah hegemoni kelompok maupun aliran tertentu, tetapi lebih bermakna sebagai suatu upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong menolong, cinta tanah air, serta tekad bersama untuk mengikhtiarkan keadilan dan kemakmuran yang dapat dinikmati bersama oleh seluruh manusia yang sangat plural pada masa itu.

Gambaran singkat tersebut bisa menjadi referensi kita bersama ketika akhir-akhir ini kita menyaksikan banyaknya aksi kekerasan yang ditujukan kepada saudara-saudara kita non-muslim dan bahkan kepada sesama kaum muslimin atas alasan cita-cita penegakan syariat Islam oleh segolongan kaum muslimin yang mungkin memandang ajaran Islam ini hanya benar dari sudut pandang mereka sendiri. Keterbatasan keilmuan yang kita miliki dan keengganan kita untuk mendiskusikan kebenaran dengan para ahlu-dzikri, umat Islam mengalami perbedaan yang tajam dalam menangkap pesan-pesan keilahian. Tidak sedikit kaum muslimin memahami agama yang sangat luhur dan mulia ini secara tekstual tanpa terlebih dahulu menghadapkannya pada interpretasi dan tafsir yang dilakukan oleh para ulama.

Maka Islam yang tadinya luas dan menenteramkan itu menjadi kaku, sempit, dan ekstrem serta menakutkan karena di sana sini bermunculan sekelompok orang yang mengatasnamakan kebenaran dan moralitas tersebut justru mengoyak-ngoyak nilai kemanusiaan dan moralitas itu sendiri dengan meledakkan bom bahkan di dalam masjid, rumah Allah yang seyogyanya harus kita hormati. Tidakkah menjadi suatu ironi dan paradok bila seseorang membunuh sesama muslim yang sedang beribadah dengan meledakkan bom di dalam masjid, lalu mengkafirkan orang tuanya sendiri yang muslim hanya karena tidak menjadi bagian dari golongannya. Hal ini benar-benar telah menggoncangkan hati dan rasa kemanusiaan kita.

Sikap-sikap ekstrem dalam memahami Islam semacam ini juga pernah terjadi di hadapan Rasulullah Saw sendiri. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw membagi harta rampasan perang di Ja'ronah tiba-tiba seseorang bernama Dzul Khuwaishirah berdiri mengajukan protes dengan lantang:

"Bersikap adil ah wahai Muhammad!"

Rasulullah menjawab dengan tegas 

"Celakalah Kamu! tidak ada orang yang lebih adil dari padaku karena apa yang kami lakukan berdasarkan petunjuk Allah."

Maka setelah orang tersebut pergi Rasulullah pun bersabda:

"Suatu saat nanti akan muncul sekelompok kecil dari umatku yang membaca Al-Qur'an tetapi tidak mendapatkan substansinya, mereka itu adalah sejelek-jelek makhluk di dunia ini." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun