Pemandangan absurd terjadi di depan rumah sore kemarin: ada layang-layang putus yang tergeletak begitu saja di halaman rumah. Tepatnya di jalan depan rumah.
Bagi saya, itu pemandangan yang absurd. Bahkan menyedihkan. Betapa ada layang-layang putus tetapi tidak ada anak-anak yang berlarian mengejarnya.Â
Layang-layang putus itu seolah kehilangan harga dirinya. Tidak lagi berharga.Â
Sebab, tidak ada anak-anak yang menganggapnya penting dan bernilai sehingga rela berlomba-lomba, berlarian demi mendapatkannya.
Mungkin karena saya tinggal di lingkungan perumahan sehingga anak-anaknya tidak antusias bermain layang-layang. Tapi, sepengetahuan saya, fenomena seperti itu kini terjadi di banyak tempat. Â
Ingatan saya mendadak kembali ke masa 30 tahun silam. Kembali ke masa pertengahan 90 an saat masih duduk di bangku SD. Kala itu, layang-layang adalah permainan primadona.
Ada banyak anak-anak yang beradu bermain sambitan layang-layang di tanah lapangan maupun di sawah.Â
Dan ketika ada layang-layang putus, spontan para pemburunya berhamburan. Ya, layang-layang putus itu langsung diperebutkan banyak anak.
Kadang, demi bisa menjadi 'pemenang' yang mendapatkan layang-layang itu, mereka menginjak-injak tanaman padi yang baru berumur beberapa bulan.Â
Saya malah pernah punya pengalaman dikejar-kejar pemilik sawah karena dianggap merusak tanaman padi di sawahnya. Lain waktu malah tersesat di ladang tebu yang luas demi mencari layang-layang putus. Â