Menurut saya, ada tiga alasan yang membuat Timnas putri Indonesia jadi bulan-bulanan Australia.
Tiga alasan yang semoga menjadi perenungan bagi pemangku kepentingan agar bisa menyiapkan timnas putri untuk menjadi lebih baik di masa-masa mendatang.
Pentingnya punya kompetisi reguler
Menyoal kekalahan timnas putri Indonesia ini, pengamat sepak bola, Anton Sanjoyo dalam postingan di akun media sosilnya menulis kalimat yang patut menjadi perenungan bagi para pemangku urusan ini.
"Bukan salah mereka, bukan ! Bukan salah para pemain timnas perempuan Indonesia, bukan ! Ini salah PSSI yang gak peduli dengan kompetisi kelompok perempuan".
Pesan dari narasi postingan Mas Joy yang merupakan mantan wartawan senior Kompas ini jelas. Perihal pentingnya kompetisi reguler untuk pemain-pemain sepak bola putri. Indonesia tidak atau belum punya kompetisi seperti itu.
Ya, Indonesia memang belum (saya memilih kata belum dibandingkan tidak yang tentu itu mengandung harapan) memiliki kompetisi sepak bola kelompok wanita yang reguler.
Pemain-pemain putri Indonesia yang tampil di ajang Piala Asia Putri belum punya pengalaman tampil rutin di kompetisi sepak bola di negerinya sendiri. Tahu-tahu, mereka harus menghadapi Australia yang sudah matang.
Memang, dalam daftar list pemain yang tampil, ada beberapa pemain yang memiliki klub. Sebut saja penyerang Zahra Muzdalifah yang tertulis berasal dari Persija. Meski lebih banyak yang tertulis mewakili Asprov Provinsi (sebutan untuk PSSI di tingkat provinsi).
Tapi, poin utamanya adalah tidak adanya kompetisi yang membuat mereka jadi pemain matang karena rutin bermain dan beradu skill dengan pemain-pemain lainnya di pertandingan resmi.
Bandingkan dengan pemain-pemain Australia yang mayoritas bermain di liga-liga Eropa. Dari 23 nama yang dibawa pelatih Tony Gustavsson, hanya lima nama yang bermain di dalam negeri. Selebihnya main di Inggris, Prancis, Italia, maupun Denmark.