Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Diwawancara Jadi Narasumber, Apa Saja yang Harus Disiapkan?

2 Juli 2021   11:31 Diperbarui: 3 Juli 2021   16:48 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wawancara narasumber| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Dulu, semasa bekerja di 'pabrik koran', mewawancara orang (baca narasumber) menjadi 'makanan sehari-hari'. Tidak ada hari tanpa mewawancara.

Bahkan, bila libur pun terkadang masih melakukan wawancara. Biasanya dengan mengirim pesan pendek (short message service) lewat handphone zadul (zaman dulu).

Hasil wawancara itulah yang menjadi bahan tulisan. Baik ditulis sebagai data, kalimat tidak langsung, maupun kutipan narasumber.

Tentu saja, sebagai jurnalis, saya akan senang mendapati narasumber yang bisa menjawab pertanyaan wawancara dengan memuaskan. Jawabannya oke. Nyambung. Berisi data. Tidak bertele-tele. Apalagi diselingi guyonan asyik.

Meski, narasumber seperti itu terkadang langka. Sulit ditemui. Yang mudah ditemui, narasumber yang senang bila diwawancara media tapi omongannya kurang berisi. Modal pede saja.

Dan yang banyak lagi, narasumber yang pelit memberikan komentar. Jawabannya sak crit (sedikit sekali). Malah terkadang ditanya tapi jawabnya "no comment". Enggan berkomentar.

Tentu saja, jawaban tidak mau berkomentar seperti itu haknya narasumber. Hanya saja, narasumber jenis begini ini terkadang membingungkan. Wartawannya bingung karena tidak ada kutipan yang bisa menguatkan tulisan. Ya hanya no comment itu.

Lucunya, ketika tulisannya jadi (sudah tayang), narasumber yang enggan berkomentar itu malah protes. Merasa tulisannya tidak cover both sides karena tidak memuat komentarnya.

Semisal perihal pelayanan mengurus KTP elektronik yang masih semrawut. Kadang, ada perjabat yang enggan berkomentar. Mungkin agar beritanya tidak sampai dimuat.

Si wartawan lantas mewawancara masyarakat yang mengurus KTP. Memakai sudut pandang (angle) masyarakat. Ketika tulisannya muncul, pejabatnya lantas protes.

Padahal, bila pejabatnya mau berkomentar, bila apa yang disampaikan mencerahkan dan berisi data, juga menjelaskan penyebab layanan masih kurang bagus, tulisannnya juga bakal menjelaskan apa adanya. Tidak 'digoreng'. Kecuali bila yang mewawancara oknum wartawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun