Nama untuk anak adalah doa.
Sebagai orang tua, saya meyakini hal itu.
Bahwa, memberi nama untuk anak itu bukan sekadar mencari kata-kata yang bagus dan menarik, lantas dipadukan menjadi satu. Tapi juga ada harapan dari kata-kata untuk nama tersebut.
Memang, dalam sejarah manusia--terlebih di daerah tempat saya tinggal--nama untuk anak mengalami perubahan seiring dinamika zaman. Semakin maju zaman, namanya semakin keren. Namanya juga bertambah panjang.
Dulu, di zaman mbah dan orang tua saya, nama anak rata-rata hanya terdiri dari satu kata. Kebanyakan orang tua zaman dulu tidak mau ribet dalam memberi nama anaknya. Semisal nama Temu, Tani, Seger, Â atau Slamet. Namanya satu kata saja. Ringkas.
Lantas, di era tahun 80-an, nama untuk anak seolah-olah di-upgrade. Tidak lagi ringkas. Jarang orang tua menamai anaknya dengan hanya satu kata. Tapi bertambah menjadi dua atau tiga kata yang dipadukan.
Nyatanya, saya dan teman-teman di sekolah dulu yang kelahiran tahun 80-an, kebanyakan namanya terdiri dari dua atau tiga suku kata.
Berikutnya, di tahun 90-an, nama untuk anak semakin berkembang. Orang tua sudah 'mau repot' untuk berpikir mencari nama bagi anaknya. Ada yang terdiri dari tiga suku kata, empat suku kata. Bahkan ada yang namanya panjang.
Malah, bagi beberapa orang tua masa kini, nama itu bagian dari gaya hidup. Nama untuk anak itu 'hal wajib' yang harus dipikirkan jauh-jauh hari sebelum kelahirannya. Jarang ada orang tua yang ketika anaknya lahir tapi belum menyiapkan nama.
Nah, tren yang terjadi, orang tua senang memberi nama anaknya dengan nama-nama keren dan panjang. Bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan oleh orang tua pada zaman dahulu.
Dulu, ketika anak saya diterima masuk sekolah dasar, di sekolahnya diumumkan nama-nama anak yang diterima di masing-masing kelas. Dari ratusan nama, saya tidak menemukan ada anak yang namanya hanya dua suku kata. Apalagi satu saja. Minimal tiga suku kata.